“Keracunan” Red Velvet

Beberapa minggu yang lalu mamanya si Nduk memesan cake red velvet pada sahabatnya. Rasanya? Jangan ditanya! Pokoknya super uenak! Setelah 1 loyang itu kami nikmati bareng ber-6, masih ada sisanya sekitar 4 potong. Sama mamanya si Nduk segera diselamatkan masuk kulkas. Sebab kalau ndak gitu saya bisa kalap. Malamnya saya tahu si Nduk asik mojok di dapur. Saya yang sudah rebahan di kamar sempat kirim BBM isinya kalau ndak salah begini: “Jangan ambil red velvet di kulkas! Itu jatahnya Papa. Kalau masih nekad juga besok ban mobilmu Papa gembosin”. Sayup-sayup saya dengar dia ngakak dari arah dapur.

Besoknya 2 potong dari 4 potong sisa red velvet itu masuk dalam daftar bekal saya ngantor. Asik! Mamanya si Nduk wanti-wanti mengingatkan: “sepotong buat jam 10, sepotong lagi buat jam 3. Jangan kalap!” Saya memang biasa ngemil secukupnya pada jam-jam tertentu karena lambung saya memang harus dijaga supaya ndak kosong.

Tapi wanti-wanti hanyalah sisa angin lalu. Ketika saya lahap sepotong red velvet pada jam 10 rasanya kok masih kurang karena uenaknya itu tadi. Saya lahap sekalian saja sisanya. Jam 12 waktunya makan siang & saya nikmati makan siang saya. Rasanya memang kenyang banget!

Setengah hari itu saya lewati dengan riang gembira karena walaupun banyak kerjaan tapi perut saya rasanya ndak bakalan berontak karena kurang asupan makanan. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya.

Sekitar jam 1 siang saya ikut meeting. Baru sekitar setengah jam duduk mulai berasa ada yang ndak beres di perut saya. Saya tahan-tahan sampai meeting selesai sekitar jam 2:30. Sekitar jam 3 saya berasa mau pingsan karena perut saya benar-benar berontak. Mual, mules melilit, ulu hati rasanya seperti ditusuk-tusuk semuanya campur aduk jadi 1. Ditambah dengan pening luar biasa & keluarnya keringat dingin. Terpaksa saya menelepon mamanya si Nduk untuk melaporkan kondisi saya. Dia menyuruh saya ke klinik. Di sana dikasih obat & harus rebahan. Istirahat.

Saya sebetulnya ndak boleh (terlalu banyak) makan cake dengan cream pekat seperti red velvet. Boleh tapi ndak boleh kalap. Lah saya memang benar-benar kalap ketika ketemu red velvet yang uenak itu. Sekali makan langsung 2 potong (besar) plus makan siang penuh. Penyesalan hanya tinggal jadi penyesalan. Coba saya menahan diri tentunya ndak akan kejadian seperti itu. Coba saya benar-benar mematuhi petuah Simbok.

Dari jam 3 sampai jam 4:30 rasanya jadi masa kerja paling panjang dalam sejarah karir saya. Jadi begini rasanya menunggu alarm berakhirnya jam kerja. Sesuatu yang belum pernah saya hiraukan sebelumnya.

Dan keapesan saya berlanjut karena ternyata sore itu bukan sopir kesayangan saya yang standby di tempat parkir, melainkan si Nduk Ayu. Kuping ini harus siaga menampung omelannya. Tapi senyatanya dia cuma diam saja sambil membawa saya pulang. Buat saya mendingan sekalian saja dia mengomeli saya daripada saya didiamkan begitu. Satu-satunya kalimat yang dia ucapkan cuma: “enaak baangeett red velvetnya ya Pa?” Nadanya penuh dengan ironi.

Sejak kejadian itu saya betul-betul lebih ketat lagi mengatur apa yang masuk ke mulut saya. Apa, seberapa, kapan. Cukup sekali merasakan “keracunan” red velvet. “Keracunan” dengan tanda kutip (“) karena sebetulnya bukan salah red velvetnya atau pembuatnya kalau rasanya uenak seperti itu. Sekaligus saya makin menyadari bahwa perut saya memang sudah lama dan makin parah saja ndak beresnya.

__________

(JP.07.03.2015.Chris D.a)