Jumat, 20 Maret 2015

Bisakah Kembali Seperti Semula?



Kertas putih yang sudah tercoret-moret tidak keruan susah untuk kembali lagi menjadi putih bersih seperti semula. Walau mencoretnya dengan pensil sekalipun masih akan ada bekas-bekas garis samar yang tersisa ketika coretan itu dihapus. Apalagi bila mencoretnya menggunakan tinta, spidol, cat yang dominan berwarna gelap. Demikian pula dengan putri saya. Ketika kecil selama beberapa tahun mengalami verbal & physical abuse dari mamanya. Benar-benar masa gelap yang susah untuk dihapuskan dari kertas putih kehidupannya.

Betapapun saya berusaha untuk sedikit demi sedikit menghapus bagian-bagian gelap itu selalu saja masih ada bekasnya. Tak bisa dipungkiri bahwa pada akhirnya dia tumbuh jadi gadis yang keras sekaligus rapuh. Kuat sekaligus lemah. Sabar sekaligus emosional. Empatik sekaligus super cuek. Mudah tertawa sekaligus sangat cengeng. Cukup cerewet sekaligus introvert. Sangat dewasa sekaligus childish. Dan masih banyak lagi perpaduan yang sangat berlawanan dan sama sekali tidak klop. Membuatnya sering dicap sebagai pribadi yang “sulit”.

Salah satu sifat yang setengah mati saya ingin menguranginya adalah sifat introvertnya. Pendiam, menarik diri, sedikit apatis, cukup susah membangun komunikasi dengan orang lain apalagi yang baru dikenalnya. Belakangan ini dia sudah mulai bisa berkomunikasi dengan baik. Membangun banyak curhat melalui tulisan-tulisannya. Menambah teman baru. Berusaha membuka diri. Dan masih banyak lagi.

Pada awalnya dia selalu berpikiran bahwa mengenal makin banyak orang itu memperbesar potensi menambah konflik. Memang benar. Hanya saja seseorang juga perlu belajar untuk mengelola konflik itu menjadi sesuatu yang membangun. Yang sungguh-sungguh lolos dari pemikiran saya adalah bahwa dia sungguh-sungguh sudah lelah menghadapi konflik.

Ketika dia bertemu dengan itu maka dia akan diam. Berusaha mengurangi sakit hatinya sendiri dengan perlahan menjauh. Suatu hal besar bisa saja dihadapinya dengan biasa. Ndableg istilahnya. Sebaliknya, suatu hal kecil bisa juga dihadapinya dengan potensi down yang besar. Apalagi bila hal itu dirasanya bisa menimbulkan sakit hati ataupun konflik pada orang lain. Sekali lagi sebuah ketidaknormalan kutub yang entah akan terurai kapan dan bagaimana.

Pada dasarnya dia tak pernah mau menyakiti orang lain karena dia sendiri tahu bagaimana rasanya disakiti. Bila sebuah jalur komunikasi saja sudah bisa berpotensi menimbulkan konflik, makin teguh dia berpegang pada pendapatnya bahwa makin banyak mengenal orang lain maka makin banyak pula potensi konflik yang bisa ditimbulkan. Bila sebuah hal kecil ataupun besar tanpa sengaja sudah menyentuh bekas luka yang tak pernah bisa hilang tadi, maka dia akan kembali ke rumah siputnya. Apalagi bila dia merasa bahwa dialah si penyebab (potensi) konflik (padahal sebetulnya bukan).

Tak adil bila menuntut orang lain untuk memahami dia sepenuhnya. Ketika dia belajar untuk memahami orang lain dan justru menemui benturan maka dia akan kembali mengamankan diri dalam ruangan diamnya. Terlalu takut untuk bergerak lagi karena beranggapan bahwa semua yang akan dilakukannya adalah salah.

Takut salah. Itu adalah bekas dari lukisan cat hitam yang pernah mewarnai kertas putih kehidupannya. Sedikit demi sedikit saya berusaha menghapus bekas itu. Kadang-kadang berhasil dan dia berdiri tegak dalam rasa percaya diri bahwa dia bisa berbuat benar walaupun mengalami benturan yang cukup hebat. Tapi di lain waktu sentuhan kecil saja bisa memunculkan kembali trauma takut salah itu. Sekaligus ada perasaan bahwa dia tidak diterima apa adanya oleh orang lain. Selalu harus ada alasan untuk melakukan sesuatu. Tidak ada makan siang yang gratis.

Sudah tak akan ada lagi verbal & physical abuse selama saya hadir jadi papanya. Juga berbagai abuse dalam bentuk apapun. Saya sudah berjanji untuk itu. Ketika beberapa hari ini dia seolah kembali berlindung di dalam ruang diam dan rumah siputnya saya seolah-olah terlempar kembali ke titik 0. Apa yang salah? I have no idea.

Mungkin memang seharusnya usianya sudah cukup mengakomodasi semua kedewasaannya. Pada banyak titik dia dewasa. Sangat dewasa. Mampu menghadapi banyak hal dengan ketegaran yang kadang-kadang tak terbayangkan. Tapi pada titik-titik lain di mana rapuhnya lebih dominan saya tak bisa serta-merta menyalahkan dia. Adanya dia sekarang adalah juga bentukan dari masa lalu yang pernah dilaluinya dalam kekerasan tak terhingga yang membayangkannya pun saya berasa miris. Dan sesungguhnya saat ini atau kapanpun bukanlah hal yang penting untuk mencari siapa yang paling bersalah. Semuanya terjadi karena alasan-alasan yang terkadang out of mind.

Saya hanya berharap saya masih cukup diberi kekuatan untuk menariknya kembali ke dunia penuh warna-warni ini. Masih cukup diberi kesabaran untuk membimbingnya menemukan pelangi. Masih cukup diberi ketegaran untuk membantunya bangkit saat dia jatuh, Masih cukup diberi waktu untuk menghapus sepenuhnya semua bekas coretan hitam dalam hidupnya. Masih cukup diberi kesempatan untuk memupuk harapan kelak melihatnya meraih kebahagiaannya sendiri bersama orang yang mampu menjaganya dan mencintainya apa adanya. Semoga.

__________

(Otw SH.20.03.2015.Chris D.a)

2 komentar:

  1. Pa Chris sabar ya. Ntik aq bantu :)

    BalasHapus
  2. somplakers are always standing beside pu2t Sir so don't worry :)

    BalasHapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........