Minggu, 19 April 2015

Sambal Jeruk




Prolog

            Ia menyodorkan padaku sepiring kecil sambal jeruk buatannya. Aku menatap keduanya bergantian. Ia dan sambal jeruk itu. Betapa aku mengharapkan semuanya itu bukanlah sekadar mimpi di siang bolong...

_____



1.
            Sambal jeruk itu hanya sambal jeruk biasa. Ibuku pun piawai membuatnya. Sambal yang terbuat dari tumisan tomat, bawang putih, bawang merah, dan seonggok cabe setan. Semuanya diulek bersama terasi bakar dan sedikit gula jawa, dan terakhir dikucuri air jeruk lemon.
            Tapi buatan Nina selalu lain di lidahku. Selalu lebih pas. Pedasnya, gurihnya, asamnya, manisnya. Paduannya sungguh sempurna. Jauh melebihi sambal jeruk buatan Ibu.
            Jangan ditanyakan bagaimana rasanya sambal jeruk buatan Olla. Sulit membedakan antara sambal jeruknya dengan racun serangga. Aku sendiri belum pernah mencicipi racun serangga, tapi kupikir rasanya sama dan sebangun dengan sambal jeruk buatan Olla.
            Lalu aku akan menikmati sambal jeruk buatan Nina. Setiap hari Kamis. Saat ia punya waktu membantu ibuku memasak. Dan aku akan melupakan semua masalah yang kupunya. Melupakan semua isi dunia yang harusnya kunikmati di luar sana. Melupakan akibat yang pasti akan muncul setelah aku menikmati sambal jeruk itu.

_____

2.
            Ia – Nina – adalah gadis mungil manis yang tinggal hanya berselang 5 rumah dari rumahku. Olla – adikku – dan Nina bagaikan anak kembar. Selain berbagi hari lahir yang sama, mereka juga sahabat yang seolah tak terpisahkan. Di situ ada Nina, di situ ada Olla. Demikian juga sebaliknya. Mereka benar-benar tumbuh bersama dari bayi hingga remaja.
            Aku sendiri tak tahu sejak kapan aku punya perhatian lebih padanya. Tiba-tiba saja aku sudah berasa bahwa kehadirannya istimewa di hatiku. Bahwa senyumnya mampu mencerahkan hariku yang terkadang menyebalkan. Bahwa sambal jeruknya adalah sesuatu yang istimewa dan berasa tak tergantikan dalam hidupku.
            Tapi semuanya hancur ketika suatu ketika kulihat wajah cerah Mas Dennis – abangku – yang bersinar seperti bulan purnama penuh. Aku tahu itu adalah masalah gadis. Dan yang tak pernah kupikir, ternyata gadis itu adalah Nina.
            Berhari-hari aku menyesali kebodohanku. Bahkan berminggu-minggu. Tentu saja aku tak pernah menyatakan rasa sukaku pada Nina. Aku hanya berharap dia mengerti sinyal-sinyal yang kupancarkan, tanpa pernah membayangkan bahwa sesungguhnya sebuah ungkapan cinta itu perlu dikatakan.
            Dan aku memang terlambat. Mas Dennis jauh lebih tegas daripada aku. Aku kehilangan Nina dan sambal jeruknya. Sambal jeruk itu masih ada setiap hari Kamis. Tapi aku yang tak lagi ingin pulang cepat pada Kamis siang.
            Aku tak lagi bisa merasakan sedapnya sambal jeruk buatan Nina. Yang ada justru hatiku yang retak menganga berasa seperti dikucuri berliter-liter air perasan jeruk lemon setiap kali aku mengingat sambal jeruk itu. Perihnya tak terkira.
            Ketika ada kesempatan untuk pergi, maka aku pun pergi. Menjemput masa depan yang entah bagaimana harus kulalui tanpa Nina.

_____

3.
            Musim dingin di Darmstadt akhirnya harus kutinggalkan untuk pulang kembali ke Indonesia. Sejujurnya aku merindukan panasnya Jakarta dan segala debu yang menyelimutinya. Tapi aku kembali merasakan perih itu walau tak senyata 2,5 tahun yang lalu.
            Kutangkap senyum cerah Olla ketika menemukan aku di antara ratusan orang yang keluar dari gate. Ia segera berlari dan menghadiahiku pelukan hangat yang sangat erat. Aku sampai susah bernapas karenanya. Ia baru melepaskan pelukannya setelah sebuah kalimat protes keluar dari mulutku, “Seneng kalau masmu ini mati kecekik?”
            Ia tertawa sambil mencium kedua pipiku. Kupeluk Olla dengan ringan. Aku merindukannya. Sangat. Sama besarnya dengan kerinduanku pada Bapak, Ibu, Mas Dennis, dan... Nina. Sesaat kemudian aku terhenyak.
            Detik ini aku pulang ke Indonesia karena 2 hal. Pertama, studi S2-ku sudah selesai. Kedua, aku sepertinya memang harus menghadiri pernikahan Mas Dennis. Tak perlu kutanyakan siapa mempelai perempuannya. Hanya akan membuat hatiku berasa sakit lagi.
            Mobil yang dikemudikan sendiri oleh Olla membelah jalanan dari bandara menuju ke rumah kami. Sepanjang perjalanan ia berceloteh dan seperti biasa aku harus berperan sebagai pendengar yang baik.  Entah bagaimana awalannya, tiba-tiba saja ia sudah mengajukan pertanyaan ini, “Jadi kapan Mas Serva mau nyusul Mas Dennis?”
            Aku tahu arah pertanyaannya, tapi aku berlagak bodoh. “Nyusul ke mana? Memangnya Mas Dennis mau ke mana?”
            Olla menatapku sekilas. “Married, Mas, married...“
            “Oh...,” aku mengangkat bahu. “Kalau kamu mau duluan, ya duluanlah...“
            Olla membelokkan mobil ke jalan yang menuju ke rumah kami. Ketika melewati rumah Nina, entah kenapa rasa nyeri itu berasa menggigit hatiku lagi. Maka aku pun buru-buru mengalihkan tatapanku.
            “Mas pasti kaget kalau tahu perkembangan terakhir,” ucapan Olla membuat isi otakku berasa terkumpul kembali.
            “Ada apa?” tanyaku, terdengar dungu.
            “Nanti juga Mas akan tahu,” Olla menghentikan mobil di carport.
            Segera saja sambutan meriah dari seluruh keluarga menyambut kepulanganku.

_____

4.
            Aku senyatanya tak tahu apa yang harus kulakukan ketika melihat Ibu menangis dan Bapak berkali-kali menghela napas berat. Olla tampak menunduk menatap karpet. Tapi jelas terlihat wajahnya sangat suram. Sebetulnya aku ingin tertawa keras, tapi apakah pantas ketika keluargaku harus berjuang membersihkan muka yang terlanjur tercoreng?
            Mas Dennis betul akan menikah, tapi bukan dengan Nina. Nina-ku. Calon pengantin perempuannya adalah gadis lain. Hm... bukan gadis lagi tepatnya, karena kondisinya sekarang sedang hamil 4 bulan. Anak yang berasal dari Mas Dennis.
            Besok pagi kami akan terbang ke Palembang. Menghadiri pernikahan Mas Dennis yang akan diadakan di sana besok lusa, di tempat pengantin perempuan. Pantas bila wajah Bapak dan Ibu sama-sama keruh. Tak terbayang malu yang harus ditanggung terhadap keluarga Nina.
            Dan Nina, bagaimana kabarnya?
            Tanpa pikir panjang aku pun berdiri dan melangkah pergi.

_____

5.
            Rumah itu masih sama ketika terakhir kutinggalkan untuk berpamitan sebelum aku pergi. Keheningan dan keteduhannya nyaris membuai pikiranku masuk ke alam lamunan kalau saja tidak muncul seseorang yang tentunya mendengar bel yang terlanjur kutekan. Lalu kami bertatapan.
            Perempuan setengah baya itu menutup mulutnya ketika menatapku. Matanya yang dinaungi bulu-bulu lentik membuatku seketika tersadar, dari mana Nina memperoleh mata indahnya.
            “Selamat malam, Tante... Apa kabar?” ucapku lirih.
            Ia menjawab pertanyaanku dengan meraihku dan membawaku ke dalam pelukannya. Aku pun membalas pelukan itu.
            “Serva...,” bisiknya. “Kamu pulang? Kapan?”
            “Baru siang ini tadi, Tante. Apa kabar?”
            Tante Tien – ibu Nina – membentangkan kedua lengannya sambil berusaha untuk tetap mengembangkan senyum di bibirnya.
            “Seperti yang kamu lihat,” jawabnya dengan mata mengaca.
            “Saya baru tahu apa yang terjadi,” desahku. “Saya ikut minta maaf atas semuanya.”
            “Tidak, Serva,” Tante Tien menggeleng. “Bukan salahmu. Kalau memang tidak jodoh mau dibilang apa?”
            Aku kehilangan kata.
            “Nina pasti senang melihatmu. Sebentar Tante panggil dia dulu ya?”
            Aku hanya bisa mengangguk. Dengan hati berdebar. Dengan seluruh benda di sekitarku terlihat seperti mengeluarkan percikan-percikan cahaya. Tapi ketika aku menyadari apa yang sudah terjadi antara ia dan Mas Dennis, mendadak semua cahaya itu padam.
            “Mas Serva?”
            Aku hanya terpaku menatapnya. Ia sama sekali tak berubah. Wajah tenang dan teduhnya. Cahaya di matanya. Aroma senyumnya. Semuanya. Tidak berubah walau setitik pun. Setidaknya tidak ada yang berubah di mataku. Seperti cintaku yang tertinggal pada keseluruhan dirinya.

_____

6.
            “Aku sempat bersedih. Tenggelam. Atau apalah namanya,” ucapnya halus sambil memotong-motong tomat, bawang merah, dan bawang putih.
            Aku menatapnya.
            “Tapi semuanya membuatku jadi berpikir panjang,” lanjutnya sambil membersihkan beberapa cabe setan dari batangnya.
            “Jangan banyak-banyak,” cegahku ketika ia masih akan menambah jumlah cabe itu.
            Kini ia menatapku. Tersenyum. “Terlalu lama di luar negeri bikin orang jadi kurang doyan pedas? Begitu?”
            Aku tersenyum lebar.
            Nina pun mulai menumis semua bahan yang disiapkannya sambil melanjutkan ucapannya, “Aku jadi berpikir, bagaimana kalau aku sudah terlanjur menikah dengan Mas Dennis, lalu perempuan itu baru muncul? Dengan kondisi hamil seperti itu?”
            Aku masih menatapnya. Berdiam diri. Menikmati alunan suaranya yang begitu kurindukan.
            “Mungkin memang bukan jodohku,” ia menatapku sekilas. “Walaupun tak ada yang namanya sedih akan cepat berlalu ketika harus berhadapan dengan rencana pernikahan yang gagal. Rencana pernikahan yang sudah di depan mata.”
            Nina menghela napas panjang. Bertepatan dengan aku melakukan hal yang sama. Dengan cekatan ia kemudian mengangkat tumisannya dari penggorengan dan meletakkannya di atas cobek setelah meniriskannya sebentar.
            Dan aku tetap mengamatinya. Ketika ia menyelipkan sebelah uraian rambutnya ke belakang telinga, lalu mulai mengulek semuanya yang harus diulek. Wajahnya tampak serius. Membuat debar di dalam dadaku makin meliar nyaris tak terkendali.
            Ketika semuanya selesai, ia meraih sebuah piring kecil dan memindahkan sambal yang baru saja dibuatnya. Terakhir, ia mengambil sebuah jeruk lemon dari dalam kulkas, mengiris sebagian, kemudian mengucurkan air perasannya ke atas sambal.
            Ia menyodorkan padaku sepiring kecil sambal jeruk buatannya. Aku menatap keduanya bergantian. Ia dan sambal jeruk itu. Betapa aku mengharapkan semuanya itu bukanlah sekadar mimpi di siang bolong...
            “Makan dulu, Mas. Mumpung goreng tahu-tempe dan selada rebusnya masih anget,” ucapnya manis.

_____


Epilog

            Ia menyodorkan padaku sepiring kecil sambal jeruk buatannya. Aku menatap keduanya bergantian. Ia dan sambal jeruk itu. Entah sudah terulang berapa kali adegan yang sama selama enam bulan ini.
            Walaupun semua hariku kini dipenuhi dengan sosoknya dan sambal jeruk buatannya itu, aku tak pernah bosan. Tak akan pernah. Mungkin memang ia bukan ditakdirkan untuk jadi jodoh Mas Dennis, tapi jodohku.
            Perlu waktu 2 tahun untuk saling meyakinkan hati bahwa mungkin kami memang ada untuk saling melengkapi dan bergandengan tangan. Rentang waktu yang diselingi acara pernikahan Olla yang meminta untuk melangkahiku karena ia sudah mantap dengan Yuke-nya, setahun setelah pernikahan Mas Dennis, dan pernikahanku sendiri bersama Nina setahun kemudian, enam bulan yang lalu.
            Kali ini ia menatapku. Dengan pendar-pendar cahaya bintang memenuhi matanya. Pendar milikku. Sama sekali bukan milik Mas Dennis.



__________




            (JP.19.04.2015.Karya kolaborasi dengan Nyonya Ben.Chris D.a)



8 komentar:

  1. Pantassss.... ada rasa beda... rupanya kolab,... salam yaaaaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trm kasih apresiasinya mba Maria. Kl ndak kolab ndak bakal seperti itu hslnya. Pasti berantakan :D

      Hapus
  2. Kalo nggak ada yang kasih link, aku nggak tau kalo tayang juga di 'sono'...

    BalasHapus
  3. Aaaawwwhhhh! Baguuuussss! Btw pa Chris masih bisa makan sambel pake cabe setan ya? (gagal fokus qiqiqiqiqiq)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha.. sdh ndak bisa Mba.. Mba Nita sdh sehat? Salam u/ Quin & juragan ya? :-)

      Hapus
  4. fiksi yang menarik. seperti komentar saya di media lain. Oh ya Pak Chris, blognya saya masukan ke daftar blog teman saya ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trm kasih atas apresiasinya Mba.. Silakan menautkan blog kami. Sy jg br sj menautkan blog Anda diblog kami.
      Salam..

      Hapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........