17 April 2015.
Hari ini tepat 11 tahun saya menjejakkan langkah dalam kehidupan baru
bersama seorang perempuan cantik dan putrinya yang juga tak kalah cantik.
Sebuah keputusan yang, jujur, pernah saya sesali ketika saya didera berbagai
masalah yang seolah tak mau berhenti di awal-awal kehidupan baru itu.
Sempat terpikir bahwa kehidupan tak bahagia kami asalnya dari restu
keluarga yang (sempat) tidak kami dapatkan. Kebiasaan mencari kambing hitam?
Mungkin benar. Hingga kami menemukan bahwa akar dari semua masalah itu
sebetulnya adalah diri kami sendiri.
Ketika satu per satu masalah mulai terurai dan kami bisa menjalin hubungan
yang jauh lebih baik, ada lagi hantaman yang nyaris merobohkan pertahanan saya.
Sekuat apapun saya, setegar apapun, adakalanya saya seperti pohon ek yang
berdiri diterpa badai sepanjang tahun. Capek. Lelah. Letih. Belum selesai
masalah pencernaan, ada penyakit dalam darah saya. Second opinion,
third opinion, semua menjatuhkan vonis yang sama dan saya ndak bisa lagi
mengelak. Pilihannya cuma 2, tetap berjuang atau menyerah. Tapi ada harapan
ketika dokter menyatakan bahwa penyakit saya masih stadium awal & masih
bisa dikendalikan. Jadi saya memutuskan untuk berjuang.
Saya ndak sendirian. Perempuan cantik yang 11 tahun lalu bersama dengan
saya mengucap janji sehidup-semati ndak pernah meninggalkan saya. Saya tahu ia
sama letihnya dengan saya. Tapi ia tetap berusaha untuk berdiri tegak menopang
saya ketika saya terjatuh. Ia perempuan yang kuat. Sangat kuat. Dan menghendaki
putrinya kelak sekuat dirinya.
Dan Ndhuk Ayu adalah sebuah paduan kekuatan dan kerapuhan sekaligus. Pada
banyak titik ia memang rapuh. Tapi pada lebih banyak sisi ia bahkan jauh lebih
kuat daripada Simbok maupun saya. Sayangnya, kondisi fisiknya sempat tidak
sinkron dengan kekuatan hatinya.
Ketika 2-3 minggu yang lalu saya dapati ia dalam kondisi tidak sadarkan
diri di dalam kamarnya, kehidupan saya seolah runtuh. Padahal hanya beberapa
belas menit sebelumnya ia masih bisa tertawa ketika saya candai. Dan apa yang
harus ia jalani kemudian membuat saya cukup hancur.
Banyak seandainya yang kemudian muncul. Banyak kata tanya kenapa bertaburan
dalam otak saya. Semuanya menghantui saya ketika saya melewati detik demi detik
menunggunya tersadar dan membuka mata kembali.
Saya merasa gagal sebagai seorang papa. Gagal menjaga kesehatan Ndhuk Ayu.
Gagal memahami alarm yang sebetulnya sudah berbunyi ketika beberapa kali ia
harus merasa & menahan sakit. Tapi dengan atau tanpa jawaban ribuan
pertanyaan itu menggulung kehidupan saya, semuanya sudah terlanjur terjadi. Dan
orang yang paling kuat ketika menghadapi semua itu adalah Simbok.
Ia bertindak bagai ibu dari 2 orang bayi raksasa yang sama-sama tak
berdaya. Dengan ketegarannya ia menarik saya untuk bangkit dan membuang semua
perasaan menyesal itu. Ada yang jauh lebih penting untuk dilakukan saat itu.
Menopang sepenuhnya Ndhuk Ayu yang super down.
Sawang-sinawang. Mungkin itu yang terjadi pada kami. Saya ndak bisa lagi
melihat Ndhuk Ayu terjerembab sedemikian rupa dalam kesedihannya. Ndhuk Ayu
juga ndak bisa melihat saya digulung penyesalan yang masih juga muncul setiap
kali saya menatapnya. Dan Simbok adalah orang yang mengulurkan kedua tangannya
dengan kekuatan penuh untuk menarik kami keluar dari semua yang terlanjur
terjadi.
Semuanya memang belum pulih seperti sedia kala. Masih panjang proses yang
harus dilalui. Saya bersyukur banyak sahabat yang dengan penuh kasih
mendampingi Ndhuk Ayu ketika ia harus mengalami proses penyangkalan dan
penerimaan akan apa yang terjadi. Semuanya sangat berarti buat kebangkitan
semangat Ndhuk Ayu.
Saya masih berharap ada sebelas tahun lagi menjalani hidup bersama dengan 2
orang yang sangat saya kasihi ini. Mungkin akan ada laki-laki lain kelak yang masuk
dalam kehidupan kami menjadi pendamping Ndhuk Ayu. Saya masih berharap ada
sebelas tahun berikutnya lagi. Dan berikutnya lagi. Dan berikutnya lagi. Kelak
bila memang semuanya itu tak bisa tercapai karena takdir, saya ingin Simbok dan
Ndhuk Ayu tahu bahwa ada kasih tanpa alasan yang saya punya buat keduanya. Bukan
karena saya hanya membutuhkan keduanya tapi karena saya benar-benar mengasihi
keduanya dengan segenap hati dan kehidupan yang saya miliki.
This is our eleventh anniversary, my beloved Simbok and Ndhuk Ayu. May God
always bless us in every second we have.
__________
(Otw PR.17.04.2015.Persembahan cinta
untuk Simbok Pertiwi dan Ndhuk Ayu Putri.
D.A. Chris Darmoatmojo)