Sudah lama aku ingin menuliskan hal
ini. Sekedar catatan kecil saja & pengakuan untuk diriku.
Setiap kali pak Chris harus dirawat
di RS & masuk ICU, aku seolah dipaksa untuk menghadapi kemungkinan
terburuk. Kemungkinan terbaiknya beliau pulih & kemungkinan terburuknya
adalah sebaliknya yaitu aku akan kehilangan beliau. Berkali2 beliau bisa
bertahan & lolos uji, berkali2 pula aku harus kejebur lagi menghadapi
situasi yg sama. Sudah nda terhitung lagi berapa kali beliau harus mampir ke
“sana”. Sport jantung? Selalu. Apalagi ketika aku harus menghadapi situasi itu
sendirian karena putriku berada jauh di benua lain.
Terakhir kalinya beberapa bulan lalu
saat beliau kena pneumonia karena “flu yg kebablasan” (sederhananya seperti itu
karena faktor imunitas tubuhnya sangat rendah) hingga harus masuk ICU lagi
sekitar 10 hari. Waktu itu terjadi putriku sudah setahun lebih berada ribuan
kilometer jaraknya dari rumah. Aku berada pada titik harapan paling tipis
karena dokter dengan jujur sudah mengatakan hanya bisa mengusahakan yg terbaik
sesuai prosedur. Selebihnya ada di tangan Tuhan karena kondisinya sudah sangat kritis.
Ketika aku menghubungi putriku &
menceritakan kondisi papanya, ia bilang sambil menangis bahwa ia sudah ikhlas
bila papanya harus dipanggil Tuhan. Ia paham sekali perjuangan papanya selama
ini. Keikhlasan itu sungguh2 menohokku karena jujur aku sama sekali belum siap
ditinggalkan pak Chris.
Aku nda tahu apakah ketidak
ikhlasanku mempengaruhi pak Chris. Jelasnya aku nda bisa berkomunikasi
dengannya karena aku nda boleh masuk ke ICU. Aku hanya bisa minta pada Tuhan,
jangan sekarang. Puji Tuhan permintaanku dikabulkan. Perlahan kondisi pak Chris
membaik & bisa melampaui masa kritis. Seorang sahabat yg berprofesi sebagai
dokter sambil bercanda bilang “Arek iku nyawane satus.” (=anak itu nyawanya
seratus) Mungkin beliau benar. Jadi hingga detik ini aku masih juga terhindar
dari menjadi janda untuk kedua kalinya.
Belasan tahun lalu aku pernah berada
dalam situasi terburuk sebuah pernikahan. Akhirnya mudah ditebak. Muaranya
adalah perpisahan & aku resmi menyandang predikat sebagai janda 1 anak.
Tapi pada saat itu aku sudah siap karena itu adalah pilihanku. Daripada
menjalani pernikahan yg seperti neraka aku lebih memilih untuk nda lagi punya
pasangan. Secara finansial aku mampu menghidupi putri tunggalku. Saat itu aku
benar-benar siap untuk menjanda meskipun tahu bahwa aku juga nda akan menjalani
kehidupan dengan lebih mudah. Tapi pendapat yg kukuh kupegang untuk nda punya pasangan lagi runtuh setelah aku bertemu pak Chris.
Lalu kesiapan itu untuk saat ini? Aku terpaksa
menggeleng. Meskipun banyak yg kurasa sudah selesai dalam hidupku, tapi aku
merasa nda akan pernah siap untuk menjanda lagi. Hal ini bukannya nda pernah
jadi bahan pembicaraan antara aku & pak Chris. Hasilnya tetap sama, aku nda
pernah bisa merasa siap ditinggalkan olehnya.
Terkadang aku jadi berpikir bahwa
aku sudah sedemikian membebaninya dengan ketidaksiapanku ini. Sekaligus
memaksanya untuk tetap berjuang terus mengalahkan kondisinya. Tapi aku tetap
menolak untuk bersiap kehilangan beliau walaupun aku tahu beliau sudah sangat
lelah. Egois sekali bukan?
Aku pernah bicara soal ini dengan
putriku ketika ia libur & pulang ke sini beberapa bulan lalu, sekeluarnya
papanya dari RS karena pneumonia itu. Tanggapannya ringan2 saja. “Papa juga
belum mau ninggalin mama kok.” Ketika aku konfirmasikan kepada yg bersangkutan
beliau (pak Chris) malah ketawa. “Kalau mama siap menjanda malah aku nda lagi
punya alasan untuk berjuang hidup.” Jleb sekali rasanya di hatiku. Lalu beliau menambahkan “sudahlah jalani
saja yg masih bisa dijalani.” Sampai kapan? Aku
nda tahu, sama sekali nda punya jawaban.
Aku pun pernah ngobrol soal ini
dengan mba Tien sahabatku. Beliau pernah mengalami situasi yg membuatnya
terpukul, ketika ditinggalkan tiba-tiba suami tercinta karena serangan jantung.
Benar2 dalam posisi yg sama sekali nda siap. Tapi beliau survive sampai
sekarang. Yg beliau katakan “pasti kamu bisa Wi.” Sampai di sini aku nda tahu
harus bicara atau berpikir apa.
Kehilangan pak Chris? Rasa2nya jauh
sekali dari pikiranku. Membayangkannya saja sudah membuatku merasa sangat
gamang. Beliau lebih dari separuh jiwa & kehidupanku. Mungkin aku terlalu
terikat pada beliau tapi begitulah sejujurnya. Beliau lebih dari sekedar suami,
pendamping, teman hidup, sahabat, soulmate, lawan berdebat, musuh saat
bertengkar & ayah sambung bagi putriku. Jauh melebihi itu.
Yang
bisa kulakukan sekarang cuma memohon yg terbaik pada Tuhan, menjaga
& merawat pak Chris, memberinya kegembiraan. Soal kesiapan itu, untuk saat
ini aku benar-benar masih belum siap. Kalaupun suatu saat takdir itu
menghampiriku aku harap Tuhan berbaik hati melalui tangan-tangan para sahabat sehingga
tidak akan membiarkan aku sendirian untuk menghadapinya.
Saat ini jalani saja apa yg masih
bisa dijalani bersama beliau. Bersyukur atas setiap waktu yg masih bisa dilalui
bersama. Hanya itu yg bisa kulakukan.
Menyiapkan diri? Entah kapan aku
sanggup memulai.
(Tiwi’sCorner.19Desember2017)
Doaku buat Mbak Tiwi sekeluarga, terutama Mas Al...
BalasHapusSalam buat Mas Al, ya Mbak...
Semangat Bu, semoga Tuhan memberikan kekuatan yang lebih lagi dan lagi.
BalasHapusSemoga lekas pulih untuk Pak Chris.
Salam sayang untuk Mput :)