Rabu, 24 Februari 2016

(T'sC) Ikhlas



Ikhlas adalah sebuah kata sederhana yang terdiri dari 6 huruf saja dengan 2 suku kata. Menurut KBBI ikhlas artinya bersih hati; tulus hati. Mungkin maknanya bisa sedikit lebih diluaskan lagi menjadi “tak megharap balasan” atau “tanpa pamrih”.

Adanya kata ikhlas seolah dapat menggugurkan idiom “tak ada makan siang gratis di dunia ini”. Tapi benarkah sesederhana itu? Ternyata sama sekali tidak.

Aku bisa dengan entengnya mengatakan “aku sudah memilih untuk mau melakukan itu”. Tapi sudah (benar-benar) ikhlaskah aku? Aku dengan mudahnya mengatakan “aku berusaha menjalani dan menikmatinya. Tapi kembali lagi ke pertanyaan yang sama: sudah (benar-benar) ikhlaskah aku?

Masih seringkali aku berpikir “seandainya nda mau dengar omonganku, setidaknya diamlah” atau “seandainya nda bisa menghargai, setidaknya bersikap baiklah” atau “seandainya nda bisa berbuat, setidaknya hargailah sedikit”. Dan masih banyak rentetan rangkaian “seandainya-setidaknya” yang lain.

Itukah yang namanya ikhlas?

Sekecil apapun “setidaknya” itu ternyata aku masih juga menginginkan balasan. Lebih parahnya lagi: penghargaan. Jadi itu yang namanya hal “ikhlas” yang selama ini kulakukan? Aku berbuat dan bicara karena ingin adanya perbaikan dan kebaikan. Berbuat dan bicara dengan masih berharap datangnya imbalan berupa perbaikan dan kebaikan.

Jelasnya ternyata aku belum bisa ikhlas. Masih bisa merasa sakit hati ketika dimaki, dicela, dibentak, disepelekan ataupun nda diacuhkan. Semuanya itu nda perlu ada kalau aku murni ikhlas.

Untuk hal ini ternyata aku harus “kebo nyusu gudel”. Induk kerbau yang (justru) menyusu pada anaknya. Ibu yang harus belajar dari anaknya.

Ketika anakku merasa berat menjalani sebuah situasi dengan entengnya aku menyebut kata itu: ikhlas. Anakku benar-benar mendengarkan omonganku dan melakukannya sementara aku hanya bisa omdo. Omong doang. Ketika anakku merasa terjebak pada rumah yang keliru lagi-lagi aku omdo dengan menyebutkan: ikhlas.

Tapi pada satu titik aku tersadar bahwa aku masih mengharapkan balasan walaupun mengucap: ikhlas. Balasan yang sebenarnya nda besar tapi ternyata hatiku menginginkannya. Lalu apa masih pantas aku mengucapkan kata itu? Ikhlas.

Betapa mudahnya! Betapa memalukannya hanya bisa omdo!

Kurasa aku hanya bisa berusaha sambil terus membaca ulang catatan ini. Nda mencoba bersembunyi dibalik kata: manusiawi. Sifat manusia yang masih bisa merasa sakit hati ketika nda didengar dan dihargai walaupun sudah mengucap: ikhlas.

Nduk cah ayu tolong ajari mamamu ini.....

(Tiwi’s Corner.24Feb2016)



4 komentar:

  1. Mangga.... ~suguhi puding kentang~ :-D

    BalasHapus
  2. Kalau comment itu butuh keikhlasan gak mbak?
    :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin jg butuh ya pak? Apalagi kl membalas komentarnya telat mulu kaya sy he he he he
      Salam :-)

      Hapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........