Kamis, 04 Februari 2016

We Can, I Can (Hidup Bersama Kanker)



Hari ini tanggal 4 Februari diperingati sebagai hari kanker sedunia sejak tahun 2005. Adanya hari kanker sedunia bertujuan untuk meningkatkan kepedulian pada kanker & langkah pencegahan, deteksi dini, maupun pengobatannya.

Dalam keluarga saya sendiri kanker bukanlah penyakit yang asing. (Eyang) Kakung (dari pihak Bapak), adik laki-laki & Ibu saya sudah berpulang karena kanker. Pada akhirnya "giliran" jatuh juga pada saya. :) Gaya hidup sehat sudah diterapkan (tidak merokok, olahraga, pola makan sehat). Mungkin memang ada faktor genetik yang menyebabkannya.


Dari ketiganya adik sayalah yang pertama kali terdeteksi kena kanker pada usia 17 tahun. Awalnya ada tumor ganas di levernya. Seiring dengan waktu keganasan itu meningkat. Berkali-kali operasi untuk membuang tumor dan akarnya yang terus muncul lagi - muncul lagi, pengobatan terus-menerus, beberapa kali rangkaian kemoterapi membuat adik saya kelelahan. Sekitar 4,5 tahun ia bertahan sebelum menyerah. 6 bulan terakhir kehidupannya hanya menjalani perawatan yang bersifat paliatif karena kankernya sudah menyebar ke paru-paru & usus besar. Tepat sehari setelah Natal tahun 1996, adik saya say good bye.

Hanya berselang beberapa bulan dari kepergian adik saya, Kakung kena giliran kejatuhan vonis juga. Kanker paru-paru yang entah dari mana bibitnya karena Kakung saya juga ndak pernah bersentuhan dengan rokok, tembakau & pipanya, ataupun cerutu. Mungkin karena saat itu fokus perhatian keluarga besar sedang jatuh pada adik saya maka kesehatan Kakung jadi terabaikan. Kankernya diketahui saat sudah masuk stadium akhir. Menjelang 2 tahun kepergian adik saya, Kakung pun menyusul dalam damai.

Selanjutnya Ibu saya. Selama 2 tahun lamanya Ibu bekerja keras mengurus Bapak yang mengalami stroke sejak akhir tahun 2002. Semua dilakukan sendiri sepanjang hari. Ndak mau dibantu siapapun. Jadi dari urusan kebersihan Bapak, makan-minum (termasuk memasak, menyiapkan, menyuapi), membacakan sesuatu untuk Bapak, mengajak ngobrol, mengajak Bapak jalan keluar dengan kursi roda, mengantar kontrol ke dokter, semuanya dilakukan sendiri oleh Ibu. Asisten RT hanya mengurusi rumah & kebersihan. Sopir hanya menyopir & membantu Ibu untuk urusan mengangkat & memindahkan Bapak. Lalu anak-anaknya ke mana? Abang di Cilegon, saya di Jakarta, adik perempuan saya di Australia memulai kuliah S1nya.

28 Desember 2004 Bapak berpulang. Tapi kerja Ibu ndak lantas jadi berkurang. Giliran Mbah Uti (Ibunya Ibu) perlu banyak perhatian karena kondisi kesehatannya terus menurun (faktor usia). Semuanya itu membuat Ibu jadi mengabaikan kesehatannya sendiri.

Akhir tahun 2007 Ibu terdeteksi kena kanker payudara. Sudah stadium 3. Harus ada yang merawat Ibu. Maka Ibu kami boyong ke sini. Masih ada Bude & Bulik yang bisa merawat Mbah Uti.

Mengingat saat itu Ibu belum sepenuhnya bisa menerima pernikahan saya dengan bu Tiwi  maka Ibu memilih untuk tinggal bersama Mas di Cilegon. Apalagi istri Mas seorang dokter. Tapi fasilitas kesehatan yang jauh lebih lengkap di Jakarta membuat Ibu kemudian berpikir ulang. Hanya beberapa bulan Ibu di Cilegon, Ibu mau tinggal bersama saya sekeluarga di Jakarta, sekaligus memperbaiki hubungan dengan menantu & cucunya.

Sejak awal divonis menderita kanker payudara Ibu sudah menolak untuk melakukan mastektomi, radiasi & kemoterapi. Hanya mau obat oral. "Seandainya aku mati, aku ingin mati dengan utuh," begitu pendapat Ibu. Segala cara kami lakukan agar Ibu bersedia meningkatkan kualitas pengobatan tapi Ibu tetap bersikukuh menolak.

Pertengahan tahun 2008 adik saya sudah menyelesaikan S2nya di Belanda. Ada kesempatan untuk berkarier di sana tapi adik saya memutuskan untuk pulang ke sini, ingin merawat Ibu. Maka Ibu pun kami lepas kembali ke rumah Malang bersama adik, berada di sana sampai wafatnya pada 23 Mei 2009, hanya berselang 5 hari dari wafatnya Mbah Uti.

Saya pernah berpikir bahwa sudah cukuplah sampai sekian sejarah kanker dalam keluarga kami. Tapi ternyata belum.

Bulan Oktober 2014 vonis itu jatuh pada saya "tanpa sengaja". Saat itu saya menjalani cek darah & dari situ ketahuan bahwa komposisi darah saya sudah ndak normal lagi.

Kaget, sedih, marah, putus asa, semuanya campur aduk ketika mengetahui bahwa sejarah kembali berulang pada saya. Tapi adik laki-laki saya yang sudah pergi tapi "masih ada" menyuruh saya bangkit. "Kamu masih punya keluarga yang harus dibahagiakan Mas!" begitu katanya.

Maka saya ndak punya pilihan lain. Bila 3 orang terdekat dalam hidup saya belum ada yang berhasil menjadi penyintas (survivor) maka saya bertekad untuk menembus batas itu. Sesulit apapun, sesakit apapun, bagaimanapun efeknya. Sepertinya ndak terlalu sulit karena menurut dokter harapan hidup saya masih bisa mencapai 10-20 tahun lagi bila saya mendapat penanganan yang tepat sesuai dengan kondisi. Mungkin harapan & kesempatan itu bisa sedikit berkurang karena faktor saluran cerna saya yang memang sudah rewel dari awalnya. Bagaimanapun saya harus tetap mencoba dan berjuang. Saat ini saya memang masih dalam masa remisi, sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjadi seorang penyintas.

Selain penanganan yang benar masih ada hal lain yang bisa menjadi faktor penting menuju tahap penyintas. Dukungan keluarga, cinta, doa, pikiran positif, semangat, kemauan untuk menjalani hidup senormal mungkin (berkegiatan positif, bekerja), kehidupan sosial yang baik, semuanya bisa mendorong seorang penderita kanker untuk meraih kesempatan & kemungkinan menambah "jam terbang" kehidupannya.

Kanker bukan penyakit menular, masih menjadi penyakit yang (sangat) mahal, ada kemungkinan terjerat di dalamnya karena faktor "nasib" (sudah berusaha hidup sehat tapi tetap saja kejebur karena faktor genetik), tapi bukan berarti sesuatu yang ndak bisa dicegah & dilawan. Menerapkan pola hidup sehat tetaplah menjadi faktor penting dalam mencegah datangnya suatu penyakit. Juga selalu hidup dalam lingkaran pikiran & perbuatan positif. Ndak boleh lupa bahwa kita juga ndak boleh abai terhadap kondisi kesehatan kita sendiri (deteksi dini). Tak kalah penting adalah selalu mendekatkan diri pada Tuhan karena Dia lah sang empunya kehidupan.

Tak ada yang tak mungkin bila Dia berkehendak. Pun kesembuhan. Tapi bila yang ada di depan mata adalah kekalahan, setidaknya kita masih punya tempat untuk bertumpu, yaitu tanganNya sendiri. Berharap setiap detik kehidupan kita menjadi jauh lebih berharga karena dekat denganNya. Berharap semua hal baik & positif yang pernah kita lakukan bisa menjadi nilai tersendiri untuk pertimbangan akan ditempatkan di alam mana kita kelak.

Ada satu catatan yang ditinggalkan almarhum adik laki-laki saya:
"Hidup adalah perjuangan. Menang atau kalah itu hanya hasil akhir. Kalau kita berjuang setidaknya kita sudah menang satu langkah. Selalu minta pada Tuhan agar memberi kekuatan untuk berjuang. Lalu tersenyumlah, maka dunia akan tersenyum bersamamu."

__________

(JP.04.02.2016.Chris D.a)

10 komentar:

  1. You're real fighter Al! Win the game! Gbu n fam

    BalasHapus
  2. mas al...

    speechless...

    doaku bersamamu.

    nuwun.

    BalasHapus
  3. keep your spirit up Al....ganbatte!!!! (lidya)

    nb. aku silent reader nde blogmu lo....apik!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lidya.. Thank you bu :) Take care ya?
      Salam utk klrg :)

      Hapus
  4. Maju jalan terus, Mas... Gusti mboten nate sare, selalu memberkati.
    Salam dan doa dari keluarga di sini. Semangaaattt!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maturnuwun sanget jeng :) salam jg utk klrg ya?

      Hapus
  5. Tetap semangat mas dan pantang menyerah selalu berdoa kepadaNya

    BalasHapus
  6. :'((((
    Gaisa komen aq pa Chris.
    Sing pasti doa dari kelrg sini slalu sama" pa Chris sekelrg.
    Pasti dikasi kekuatan lebih.
    Pa Chris pasti bisa !!!!

    BalasHapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........