1.
Sudah beberapa hari belakangan ini
aku melihat ada yang berubah dari perilaku Marina – istriku. Ia menyambangi
depan cermin jauh lebih sering daripada biasanya. Bangun tidur, bercermin. Membelah-belah
uraian rambut di kepalanya. Sebelum tidur, bercermin juga. Melakukan hal yang
sama, membelah-belah uraian rambutnya. Belum lagi pada saat-saat lain ketika
kebetulan aku sedang berada di rumah dan memergokinya melakukan repetisi ritual
baru itu.
Ia hanya tersenyum ketika kutanya
mengapa. Tersenyum dengan wajah kelihatan tersipu tanpa memberi jawaban, membuat aku gemas padanya.
Ketika kutanyakan pada Threes – anak
gadisku – ia terbahak sebelum balik bertanya, “Papa ndak perhatian sejak kapan
Mama jadi seperti itu?”
“Sudah beberapa hari ini.”
“Tepatnya sejak ada kejadian apa?”
Aku berpikir sejenak sebelum
menggeleng, menyerah. Threes menepuk bahuku.
“Sejak bertemu Tante Sonia, Papa..,”
ucapnya sambil berlalu.
Uhuk!
Aku hampir keselek lemper yang baru
saja kugigit. Masih kutatap punggung anak gadisku yang makin menjauh.
Sonia?
Tentu saja aku tahu betul siapa
Sonia yang dimaksud oleh Thress. Sonia kan mantanku. Ups! Hmm.. Jadi itu
masalahnya?
Hampir 2 minggu yang lalu kami
bertiga – Marina, Threes, aku – memang tanpa sengaja bertemu Sonia di sebuah
mall. Ia masih seperti dulu. Cantik, atraktif, kenes, dan tetap menarik walaupun
sudah punya 2 anak.
Hmm.. Mungkin benar apa yang
dikatakan Threes. Bahwa Marina jadi cermin-lover
setelah peristiwa itu.
__________
2.
Pagi ini aku melihatnya lagi
melakukan ritual yang sama di depan cermin. Setelah aku menyelesaikan acara
menguap dan menggeliatku, ia menatapku melalui cermin.
“Sudah bangun, Pa?”
“Belum,” godaku.
Ia cemberut menggemaskan seperti
biasanya.
“Kenapa sih Mama sekarang jadi rajin
ngaca?”
Marina tak langsung menjawabnya. Ia
menaruh sisir dan berbalik. Sambil masih tetap duduk, ia menatapku. “Pa..”
“Hmm..”
“Papa perhatikan ndak sih sekarang
ubanku makin banyak saja?”
Aku melongo menatapnya. Uban di
kepala Marina? Itukah masalah sebenarnya? Ndak salah?
“Namanya sudah seumur Mama bukannya
wajar sudah banyak ubannya?” aku berusaha untuk menjawab secara hati-hati, tapi
agaknya jawabanku tak memuaskan Marina.
“Masalahnya..,” ia mulai cemberut.
“Papa ubannya baru 1-2, lah aku?”
“Lah ya umur kita juga beda toh
Ma..”
Astaga! Aku baru menyadari
kelancangan mulutku begitu melihat wajahnya tertunduk sedikit layu. Seharusnya
aku tak mengucapkan sesuatu yang berbau kata “umur”. Itu sungguh sensitif buat
Marina. Amat sangat sensitif.
Bagaimana tidak? Umurku dan umurnya
berbeda 8 tahun. Sesuatu yang sebetulnya istimewa karena ia dan aku tak seperti
kebanyakan pasangan lain. Pada umumnya pasangan lain, laki-lakinya berusia
lebih tua. Sedangkan ia dan aku terbalik. Ia lebih tua daripada aku.
Terlambat untuk menarik kata-kataku.
Marina sudah terlanjur makin cemberut dan menjurus ke patah semangat. Aku mendekatinya,
meremas kedua bahunya, menatapnya melalui pantulan di cermin.
“Ma.. Ubanmu 1 atau 1000, aku tetap
mencintaimu.”
Aku tahu ucapanku tak ubahnya
kata-kata gombal para ABG seumuran anak gadisku ketika merayu calon pacarnya.
Tapi sungguh, aku tak bisa menemukan kata-kata lain yang bisa mewakili
perasaanku padanya.
“Gombal..,” bibirnya mencebik lucu.
Kucium rambutnya yang katanya
beruban makin banyak. Wanginya tetap sama. Wangi yang kusuka dan selalu
membuatku tergila-gila. Kalau saja tak kuingat harus secepatnya bersiap
berangkat ke kantor, sudah ku-sosor ia tanpa ampun.
__________
3.
Lalu mendadak saja sore itu aku
kehilangan semuanya. Marina-ku yang sederhana dengan hiasan uban di sela-sela
rambut hitamnya. Ia – yang punya kantor sendiri dan selalu pulang lebih dulu
daripada aku – menyambutku dengan paras yang lain.
Bila biasanya wajahnya hanya
tersaput bedak dan lipstik tipis, kali ini aku melihat bayangan pipinya yang
merona lebih merah, warna bibir yang lebih cerah, alis yang tertata lebih rapi.
Bila biasanya ia hanya memakai pakaian rumah yang sederhana, kali ini ia
mengenakan busana yang lebih rapi. Bila biasanya rambutnya hanya dikuncir kuda,
kali ini kulihat terurai lepas dan sedikit lebih tertata, dan.. tanpa sedikit pun semburat uban
di sela-sela rambutnya.
“Mau pergi?” tanyaku sembari
membalas ciumannya di pipiku.
Ia menggeleng. Aku menatapnya dengan
heran. Ia balas menatapku.
“Bagaimana penampilanku?” ia
berputar di depanku.
“Kalau aslinya sudah cantik, mau
seperti apapun tetaplah cantik.”
“Ada yang berubahkah di mata Papa?”
Entah kenapa aku merasa kali ini
tatapannya jauh lebih genit daripada biasanya. Diam-diam aku merasa sedikit
risih. Oh Tuhan.. ampuni perasaanku ini..
“Banyak,” gumamku kemudian. “Tadi ke
salon ya? Ngecat rambut?”
Ia kelihatan tak puas mendengar
ucapanku. Sebelum ia sempat bicara lagi, Threes tiba-tiba saja menyeruak di
tengah kami. Entah dari mana asalnya. Tanpa tedeng aling-aling, ditatapnya
Marina dari atas ke bawah.
“Mamaku ke mana?” cetusnya.
Bagai emoticon, Marina memutar bola
matanya.
“Kamu amnesia?” tanyanya, terlihat
jengah ditatap Threes sedemikian rupa.
Anak gadisku meringis geli, kemudian
ngeloyor pergi begitu saja. Kudengar Marina menghela nafas panjang. Kugamit
lengannya, masuk ke kamar. Sambil melepaskan sepatu dan kaus kakiku, kutatap
ia.
“Sebenarnya ada apa toh Ma?”
Marina terduduk lesu di tepi tempat
tidur. Aku jadi tidak tega melihatnya. Tapi aku lebih tidak tega lagi
melihatnya berubah jadi seolah bukan dirinya seperti sekarang. Maka aku pun
duduk di sebelahnya. Kulingkarkan tangan kananku ke sekeliling bahunya.
“Apa ini masih berkaitan dengan uban
yang sempat kita bahas sedikit tadi pagi?” ucapku lembut.
Ia mengangguk.
“Sudah kukatakan, ubanmu 1 atau
1000, aku tetap mencintaimu.”
“Masalahnya..,” ia menghela nafas,
“aku takut kehilanganmu, Pa..”
“Hah?” aku benar-benar belum
memahami maksudnya. “Aku ndak akan ke mana-mana. Kecuali harus dinas luar. Itu
juga aku selalu membiarkanmu nginthil
(=ikut; mengikuti di belakang).”
“Jadi sebetulnya Papa keberatan aku nginthil?”
Loh.. kok jadi salah lagi?
“Papa malu punya istri sudah ubanan?
Mulai gendut pula!”
Aku melongo.
“Kalau dibandingkan dengan Sonia-mu
itu, aku jelas kalah jauh.”
Oalah.. Jadi muaranya tetap ke Sonia
juga? Hampir saja aku terbahak kalau saja tak kulihat mendung menyaput wajah
Marina. Kueratkan pelukanku.
“Kenapa sih tiba-tiba saja Sonia
jadi begitu penting sampai membuat Mama harus berubah seperti ini?” bisikku di
telinganya.
“Lah dulu saja Papa bisa nginthil terus padanya, kenapa sekarang
ndak?”
“Ya jelas ndak toh.. Wong aku sudah
punya istri sempurna kok.”
Marina seketika mengubah posisi
duduknya kemudian menatapku dengan ribuan rasa tak percaya bermain dalam bening
matanya. Aku balas menatapnya, berusaha menanamkan keyakinan itu. Bahwa cuma ia
yang ada di hatiku sekarang.
Aku tak tahu apakah ia percaya
padaku atau tidak. Tapi aku memang tak membohonginya. Aku memang mencintainya.
Meskipun......
__________
4.
Malam sudah larut ketika aku masih
juga terjaga. Marina sudah terlelap di sebelahku. Diam-diam kupandangi wajahnya
yang sama sekali bersih dari berbagai make-up
yang seharian tadi menempel.
Garis-garis halus itu sudah beberapa
lama menetap di wajahnya. Kupikir kemunculannya wajar bila mengingat usia
Marina sudah mencapai setengah abad sebulan yang lalu. Terkadang kutemukan juga
wajah yang letih ketika pekerjaannya agak berlebih.
Tiba-tiba saja ingatanku melayang
pada wajah almarhum ibuku. Lebih tepatnya, wajah lara ibuku ketika mendapati
ayahku berselingkuh. Semuanya masih tergambar begitu jelas di mataku. Saat hal
itu terjadi, Ibu seusia Marina sekarang. Akan seperti itukah Marina bila
mengalami hal yang sama? Mendadak aku tak sanggup membayangkannya.
Pelan-pelan kumainkan BB-ku.
Kuketikkan sesuatu, sebuah pesan biasa. SMS. Kubaca sekali lagi sebelum aku
menyentuh kotak send.
Sekarang aku mengerti mengapa kau begitu teguh berdiri di
samping suami dan anak-anakmu. Karena semuanya terlalu berharga untuk
dipermainkan. Aku ndak akan mengganggumu lagi, Ty. Selamanya. Aku akan kembali pada
Marina dan Threes. Kehidupan masa kini dan masa depanku. Kehidupan yang kupilih
sendiri untuk kujalani. Salam, Tian.
Aku hanya bisa berharap Betty akan
membaca pesanku itu meskipun tak membalasnya, seperti semua pesan cintaku
padanya yang tak satu pun pernah terbalas meskipun hanya 1 huruf. Kesalahan itu
sudah pernah terjadi sekali. Aku tak mau mengulanginya lagi.
Dulu aku menyelingkuhi Betty ketika
masih pacaran. Bermain api dengan Sonia. Lara dalam mata Betty sama dengan lara
yang pernah kurekam dari mata Ibu. Dan ia tak pernah memaafkanku. Membuatku
merasa kalap ketika mendapati ia kemudian kelihatan begitu berbahagia bersama
suami dan anak-anaknya.
Aku merasa masih mencintainya hingga
saat ini. Meskipun sudah ada Marina dan Threes di sampingku. Selama hampir
setahun ini tanpa lelah kukirimkan kalimat kerinduan dan berbagai pesan cintaku
untuknya. Semuanya tak ada yang dibalasnya. Tapi kini semuanya kurasa pudar
begitu saja, begitu terbayang kembali tatapan lara Ibu.
Kutatap Marina sekali lagi. Terlihat
begitu damai. Aku tidak tahan untuk tidak mencium keningnya. Ketika aku kembali
pada posisi siap memejamkan mata, BB-ku bergetar. Kemudian kubaca pesan singkat
itu, satu-satunya balasan yang pernah dikirimkan Betty.
Terima
kasih. Akhirnya kau bisa memahaminya, bahwa hidup adalah setiap pilihan yang
harus dijalani dengan segala konsekuensinya. Salam buat keluargamu.
Lalu aku merasakan ketenangan itu.
Sesuatu yang selalu kurasakan setiap kali Marina ada di sampingku. Sesuatu yang
berasal dari kesederhanaan, kasih dan pengabdian yang tak pernah berkurang.
Aku memeluknya. Berharap malam
demi malam segera berlalu. Sehingga aku bisa menemukan lagi helaian uban di
sela-sela rambut hitam Marina. Menemukan Marina-ku kembali seperti apa adanya ia.
__________
(PR.30.06.2015.Chris Darmoatmojo)
Aaaaaaahhh.. berasa lega bacanya pak :D
BalasHapusTrm kasih mba. Maaf br sempat membalas.
HapusCerpennya bagus Pak, sangat menyentuh
BalasHapusTrm kasih mba. Maaf br sempat membalas. Salam..
HapusLha gene iso gae cerpen apik tanpa kolab ;)
BalasHapusVery good job! Gimana dengan niat balik ke lab? Hehehe...
Wooh.. ngunu yo? Maturnuwun rawuhipun.
HapusSetuju sama mbakyu Lizz.....cerpene mantab surantab tanpa kolab he he
BalasHapusKalau kata bapaknya nak kanak, itu bukan urban Pak.....tapi rambut keperakan.....lebih keren dari ombre yang warna-warni itu*ngeles padahal ngecat nggak berhasil
Haha.. Trm kasih sdh mampir mba.
HapusNgenspiratiff.......
BalasHapus"Life is a choice..." :)
Trm kasih bung. Maaf br sempat bls skrng.
Hapus