Selasa, 30 Juni 2015

Uban



1.
            Sudah beberapa hari belakangan ini aku melihat ada yang berubah dari  perilaku Marina – istriku. Ia menyambangi depan cermin jauh lebih sering daripada biasanya. Bangun tidur, bercermin. Membelah-belah uraian rambut di kepalanya. Sebelum tidur, bercermin juga. Melakukan hal yang sama, membelah-belah uraian rambutnya. Belum lagi pada saat-saat lain ketika kebetulan aku sedang berada di rumah dan memergokinya melakukan repetisi ritual baru itu.
            Ia hanya tersenyum ketika kutanya mengapa. Tersenyum dengan wajah kelihatan tersipu tanpa memberi jawaban, membuat aku gemas padanya.
            Ketika kutanyakan pada Threes – anak gadisku – ia terbahak sebelum balik bertanya, “Papa ndak perhatian sejak kapan Mama jadi seperti itu?”
            “Sudah beberapa hari ini.”
            “Tepatnya sejak ada kejadian apa?”
            Aku berpikir sejenak sebelum menggeleng, menyerah. Threes menepuk bahuku.
            “Sejak bertemu Tante Sonia, Papa..,” ucapnya sambil berlalu.
            Uhuk!
            Aku hampir keselek lemper yang baru saja kugigit. Masih kutatap punggung anak gadisku yang makin menjauh.
            Sonia?
            Tentu saja aku tahu betul siapa Sonia yang dimaksud oleh Thress. Sonia kan mantanku. Ups! Hmm.. Jadi itu masalahnya?
            Hampir 2 minggu yang lalu kami bertiga – Marina, Threes, aku – memang tanpa sengaja bertemu Sonia di sebuah mall. Ia masih seperti dulu. Cantik, atraktif, kenes, dan tetap menarik walaupun sudah punya 2 anak.
            Hmm.. Mungkin benar apa yang dikatakan Threes. Bahwa Marina jadi cermin-lover setelah peristiwa itu.
__________

2.
            Pagi ini aku melihatnya lagi melakukan ritual yang sama di depan cermin. Setelah aku menyelesaikan acara menguap dan menggeliatku, ia menatapku melalui cermin.
            “Sudah bangun, Pa?”
            “Belum,” godaku.
            Ia cemberut menggemaskan seperti biasanya.
            “Kenapa sih Mama sekarang jadi rajin ngaca?”
            Marina tak langsung menjawabnya. Ia menaruh sisir dan berbalik. Sambil masih tetap duduk, ia menatapku. “Pa..”
            “Hmm..”
            “Papa perhatikan ndak sih sekarang ubanku makin banyak saja?”
            Aku melongo menatapnya. Uban di kepala Marina? Itukah masalah sebenarnya? Ndak salah?
            “Namanya sudah seumur Mama bukannya wajar sudah banyak ubannya?” aku berusaha untuk menjawab secara hati-hati, tapi agaknya jawabanku  tak memuaskan Marina.
            “Masalahnya..,” ia mulai cemberut. “Papa ubannya baru 1-2, lah aku?”
            “Lah ya umur kita juga beda toh Ma..”
            Astaga! Aku baru menyadari kelancangan mulutku begitu melihat wajahnya tertunduk sedikit layu. Seharusnya aku tak mengucapkan sesuatu yang berbau kata “umur”. Itu sungguh sensitif buat Marina. Amat sangat sensitif.
            Bagaimana tidak? Umurku dan umurnya berbeda 8 tahun. Sesuatu yang sebetulnya istimewa karena ia dan aku tak seperti kebanyakan pasangan lain. Pada umumnya pasangan lain, laki-lakinya berusia lebih tua. Sedangkan ia dan aku terbalik. Ia lebih tua daripada aku.
            Terlambat untuk menarik kata-kataku. Marina sudah terlanjur makin cemberut dan menjurus ke patah semangat. Aku mendekatinya, meremas kedua bahunya, menatapnya melalui pantulan di cermin.
            “Ma.. Ubanmu 1 atau 1000, aku tetap mencintaimu.”
            Aku tahu ucapanku tak ubahnya kata-kata gombal para ABG seumuran anak gadisku ketika merayu calon pacarnya. Tapi sungguh, aku tak bisa menemukan kata-kata lain yang bisa mewakili perasaanku padanya.
            “Gombal..,” bibirnya mencebik lucu.
            Kucium rambutnya yang katanya beruban makin banyak. Wanginya tetap sama. Wangi yang kusuka dan selalu membuatku tergila-gila. Kalau saja tak kuingat harus secepatnya bersiap berangkat ke kantor, sudah ku-sosor ia tanpa ampun.

__________

3.
            Lalu mendadak saja sore itu aku kehilangan semuanya. Marina-ku yang sederhana dengan hiasan uban di sela-sela rambut hitamnya. Ia – yang punya kantor sendiri dan selalu pulang lebih dulu daripada aku – menyambutku dengan paras yang lain.
            Bila biasanya wajahnya hanya tersaput bedak dan lipstik tipis, kali ini aku melihat bayangan pipinya yang merona lebih merah, warna bibir yang lebih cerah, alis yang tertata lebih rapi. Bila biasanya ia hanya memakai pakaian rumah yang sederhana, kali ini ia mengenakan busana yang lebih rapi. Bila biasanya rambutnya hanya dikuncir kuda, kali ini kulihat terurai lepas dan sedikit lebih tertata, dan.. tanpa sedikit pun semburat uban di sela-sela rambutnya.
            “Mau pergi?” tanyaku sembari membalas ciumannya di pipiku.
            Ia menggeleng. Aku menatapnya dengan heran. Ia balas menatapku.
            “Bagaimana penampilanku?” ia berputar di depanku.
            “Kalau aslinya sudah cantik, mau seperti apapun tetaplah cantik.”
            “Ada yang berubahkah di mata Papa?”
            Entah kenapa aku merasa kali ini tatapannya jauh lebih genit daripada biasanya. Diam-diam aku merasa sedikit risih. Oh Tuhan.. ampuni perasaanku ini..
            “Banyak,” gumamku kemudian. “Tadi ke salon ya? Ngecat rambut?”
            Ia kelihatan tak puas mendengar ucapanku. Sebelum ia sempat bicara lagi, Threes tiba-tiba saja menyeruak di tengah kami. Entah dari mana asalnya. Tanpa tedeng aling-aling, ditatapnya Marina dari atas ke bawah.
            “Mamaku ke mana?” cetusnya.
            Bagai emoticon, Marina memutar bola matanya.
            “Kamu amnesia?” tanyanya, terlihat jengah ditatap Threes sedemikian rupa.
            Anak gadisku meringis geli, kemudian ngeloyor pergi begitu saja. Kudengar Marina menghela nafas panjang. Kugamit lengannya, masuk ke kamar. Sambil melepaskan sepatu dan kaus kakiku, kutatap ia.
            “Sebenarnya ada apa toh Ma?”
            Marina terduduk lesu di tepi tempat tidur. Aku jadi tidak tega melihatnya. Tapi aku lebih tidak tega lagi melihatnya berubah jadi seolah bukan dirinya seperti sekarang. Maka aku pun duduk di sebelahnya. Kulingkarkan tangan kananku ke sekeliling bahunya.
            “Apa ini masih berkaitan dengan uban yang sempat kita bahas sedikit tadi pagi?” ucapku lembut.
            Ia mengangguk.
            “Sudah kukatakan, ubanmu 1 atau 1000, aku tetap mencintaimu.”
            “Masalahnya..,” ia menghela nafas, “aku takut kehilanganmu, Pa..”
            “Hah?” aku benar-benar belum memahami maksudnya. “Aku ndak akan ke mana-mana. Kecuali harus dinas luar. Itu juga aku selalu membiarkanmu nginthil (=ikut; mengikuti di belakang).”
            “Jadi sebetulnya Papa keberatan aku nginthil?”
            Loh.. kok jadi salah lagi?
            “Papa malu punya istri sudah ubanan? Mulai gendut pula!”
            Aku melongo.
            “Kalau dibandingkan dengan Sonia-mu itu, aku jelas kalah jauh.”
            Oalah.. Jadi muaranya tetap ke Sonia juga? Hampir saja aku terbahak kalau saja tak kulihat mendung menyaput wajah Marina. Kueratkan pelukanku.
            “Kenapa sih tiba-tiba saja Sonia jadi begitu penting sampai membuat Mama harus berubah seperti ini?” bisikku di telinganya.
            “Lah dulu saja Papa bisa nginthil terus padanya, kenapa sekarang ndak?”
            “Ya jelas ndak toh.. Wong aku sudah punya istri sempurna kok.”
            Marina seketika mengubah posisi duduknya kemudian menatapku dengan ribuan rasa tak percaya bermain dalam bening matanya. Aku balas menatapnya, berusaha menanamkan keyakinan itu. Bahwa cuma ia yang ada di hatiku sekarang.
            Aku tak tahu apakah ia percaya padaku atau tidak. Tapi aku memang tak membohonginya. Aku memang mencintainya. Meskipun......

__________

4.
            Malam sudah larut ketika aku masih juga terjaga. Marina sudah terlelap di sebelahku. Diam-diam kupandangi wajahnya yang sama sekali bersih dari berbagai make-up yang seharian tadi menempel.
            Garis-garis halus itu sudah beberapa lama menetap di wajahnya. Kupikir kemunculannya wajar bila mengingat usia Marina sudah mencapai setengah abad sebulan yang lalu. Terkadang kutemukan juga wajah yang letih ketika pekerjaannya agak berlebih.
            Tiba-tiba saja ingatanku melayang pada wajah almarhum ibuku. Lebih tepatnya, wajah lara ibuku ketika mendapati ayahku berselingkuh. Semuanya masih tergambar begitu jelas di mataku. Saat hal itu terjadi, Ibu seusia Marina sekarang. Akan seperti itukah Marina bila mengalami hal yang sama? Mendadak aku tak sanggup membayangkannya.
            Pelan-pelan kumainkan BB-ku. Kuketikkan sesuatu, sebuah pesan biasa. SMS. Kubaca sekali lagi sebelum aku menyentuh kotak send.

            Sekarang aku mengerti mengapa kau begitu teguh berdiri di samping suami dan anak-anakmu. Karena semuanya terlalu berharga untuk dipermainkan. Aku ndak akan mengganggumu lagi, Ty. Selamanya. Aku akan kembali pada Marina dan Threes. Kehidupan masa kini dan masa depanku. Kehidupan yang kupilih sendiri untuk kujalani. Salam, Tian.

            Aku hanya bisa berharap Betty akan membaca pesanku itu meskipun tak membalasnya, seperti semua pesan cintaku padanya yang tak satu pun pernah terbalas meskipun hanya 1 huruf. Kesalahan itu sudah pernah terjadi sekali. Aku tak mau mengulanginya lagi.
            Dulu aku menyelingkuhi Betty ketika masih pacaran. Bermain api dengan Sonia. Lara dalam mata Betty sama dengan lara yang pernah kurekam dari mata Ibu. Dan ia tak pernah memaafkanku. Membuatku merasa kalap ketika mendapati ia kemudian kelihatan begitu berbahagia bersama suami dan anak-anaknya.
            Aku merasa masih mencintainya hingga saat ini. Meskipun sudah ada Marina dan Threes di sampingku. Selama hampir setahun ini tanpa lelah kukirimkan kalimat kerinduan dan berbagai pesan cintaku untuknya. Semuanya tak ada yang dibalasnya. Tapi kini semuanya kurasa pudar begitu saja, begitu terbayang kembali tatapan lara Ibu.
            Kutatap Marina sekali lagi. Terlihat begitu damai. Aku tidak tahan untuk tidak mencium keningnya. Ketika aku kembali pada posisi siap memejamkan mata, BB-ku bergetar. Kemudian kubaca pesan singkat itu, satu-satunya balasan yang pernah dikirimkan Betty.

            Terima kasih. Akhirnya kau bisa memahaminya, bahwa hidup adalah setiap pilihan yang harus dijalani dengan segala konsekuensinya. Salam buat keluargamu.

            Lalu aku merasakan ketenangan itu. Sesuatu yang selalu kurasakan setiap kali Marina ada di sampingku. Sesuatu yang berasal dari kesederhanaan, kasih dan pengabdian yang tak pernah berkurang.
            Aku memeluknya. Berharap malam demi malam segera berlalu. Sehingga aku bisa menemukan lagi helaian uban di sela-sela rambut hitam Marina. Menemukan Marina-ku kembali seperti apa adanya ia.

__________

(PR.30.06.2015.Chris Darmoatmojo)


10 komentar:

  1. Cerpennya bagus Pak, sangat menyentuh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trm kasih mba. Maaf br sempat membalas. Salam..

      Hapus
  2. Lha gene iso gae cerpen apik tanpa kolab ;)
    Very good job! Gimana dengan niat balik ke lab? Hehehe...

    BalasHapus
  3. Setuju sama mbakyu Lizz.....cerpene mantab surantab tanpa kolab he he
    Kalau kata bapaknya nak kanak, itu bukan urban Pak.....tapi rambut keperakan.....lebih keren dari ombre yang warna-warni itu*ngeles padahal ngecat nggak berhasil

    BalasHapus
  4. Ngenspiratiff.......
    "Life is a choice..." :)

    BalasHapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........