Minggu, 17 Juli 2016

Sawang Sinawang (Hijaunya Rumput Tetangga)




Kemarin siang saya baru keluar dari RS setelah hampir 3 minggu penuh terpenjara di sana. Sampai di rumah saya puas-puaskan tidur, padahal kerjaan saya selama di RS ya tidur juga. Tapi entah, rasanya tidur di RS sama rumah jelas lain. Enakan di rumah.

Akibatnya semalaman suntuk saya kancilen. Ndak bisa merem. Ndak berasa ngantuk. Mamanya Nduk sudah pulas tapi saya masih dlongap-dlongop ndak ada yang bisa diajak ngobrol. Hampir jam 11 malam saya cek Whatsapp. Siapa tahu ada yang bisa disapa. Ndak taunya abang saya masih online. Ya sudah akhirnya dia yang jadi korban kancilennya saya. Ndak puas cuma ketak-ketuk ngobrol via Whatsapp, akhirnya Mas memutuskan untuk turun. Iya turun, lah wong ia memang lagi nginep di rumah saya. Bubuk di kamar atas bersama si kembar.

Mau mojok di dapur ternyata sudah dikapling si Nduk. Ia sempat melotot ketika tahu saya belum tidur. Tapi ia ndak jadi ngomelin saya karena melihat Pakdenya ikut melek juga. Akhirnya Mas & saya menyingkir ke kamar kerja di belakang.

Kami ngobrol banyak. Baru kali ini Mas secara terbuka mengungkapkan apa yang ia rasakan setelah Mbak ndak ada. Pada awalnya ia masih berharap Mbak berkenan kembali sehingga rumah tangganya kembali utuh. Tapi rupanya Tuhan punya rencana lain. Mbak dipanggilNya pulang & Mas benar-benar diceraikan dari Mbak olehNya sendiri. Ada kesedihan karena ternyata harapannya kandas. Tapi di sisi lain ada juga kelegaan karena statusnya sekarang sudah jelas.

Ketika saya tanya apakah Mas akan menikah lagi, Mas menggeleng. Antara tidak tahu & tidak mau. Ia bermaksud untuk lebih fokus ke anak-anak. Walaupun anak-anak ikut saya tapi Mas ndak pernah lepas tangan & selalu ikut mengawasi & membimbing anak-anak dari jauh. Mas merasa ndak bisa memberi yang terbaik buat anak-anak, jadi ia belum bermaksud untuk "menambah masalah" dengan menikah lagi.

Ia lalu "menyentil" saya. Seharusnya saya bersyukur karena dalam kondisi saya yang babak belur parah seperti ini, mamanya Nduk masih sangat setia mendampingi & merawat saya. Juga masih ada Nduk Ayu yang selalu menyemangati saya dengan caranya sendiri. Manusiawi kalau saya mengeluh. Tapi keadaan saya akan tetap sama baik saya mengeluh ataupun tidak. Bahkan mungkin bertambah kelabu kalau saya kebanyakan mengeluh.

Sejujurnya akhir-akhir ini saya berasa sudah sampai di batas pertahanan. Setelah insiden martabak manis yang berakhir mengenaskan itu saya benar-benar sudah kapok & lebih disiplin lagi menjalani diet. Tapi kondisi saya sepertinya sudah susah untuk pulih. Apalagi banyak sekali pekerjaan yang harus saya selesaikan di kantor.

Sebenarnya saya ndak mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya karena saya punya tim yang terdiri dari orang-orang hebat & cukup solid. 3 orang asisten saya pun cukup mumpuni mendukung pekerjaan saya. Hantaman justru datang dari luar tim. Ada yang berusaha untuk meghambat dengan segala cara. Saya menemukan celah untuk mengatasinya, tapi justru celah itu yang ia gunakan untuk menjatuhkan saya.

Pada akhirnya situasi kembali kondusif karena semua bukti menunjukkan bahwa saya sebagai penanggung jawab kerja tim memang benar-benar tidak bersalah. Tapi kondisi fisik & mental saya sudah terlanjur terjun bebas. Pada hari "pengadilan" itu, begitu meeting selesai & nama saya kembali bersih, saya justru kolaps.

Malamnya saya kembali harus masuk kamar operasi. Terpaksa harus merelakan sayatan baru dibuat tepat di salah satu sayatan operasi 2 tahun lalu & merelakan beberapa sentimeter usus halus saya untuk dipotong lagi. Sakitnya luar biasa baik pra maupun pasca operasi.

Menjelang akhir masa pemulihan yang diperkirakan, 2 minggu setelah operasi, saya rasanya senang sekali karena ndak lama lagi saya boleh pulang. Biarpun nyerinya masih berasa lumayan tapi saya tahan. Saya ingin pulang. Sudah rindu dengan suasana rumah. Apa daya besoknya saya justru drop lagi. Itu artinya waktu opname saya terpaksa diperpanjang.

Hopelessnya luar biasa sampai rasanya mau melek saja males. Lebih frustrasi lagi karena mamanya Nduk tetap sabar melayani saya yang rewelnya minta ampun. Semua-semua jadi salah. Saya merasa makin ndak berguna jadi manusia.

Tapi ada satu titik di mana saya merasa ditampar. Dengan wajah putus asanya Nduk Ayu meminta saya untuk berjanji bertahan hingga mimpi saya terwujud. Saya sudah ndak mau berjanji lagi. Sudah terlalu banyak janji saya pada Nduk meleset karena saya tidak mampu memenuhinya. Itu yang saya katakan padanya. Biasanya ia ngeyel tapi kali ini ia cuma diam. Seperti sudah ndak tahu harus mengatakan apa lagi. Di situlah tiba-tiba saja saya merasa seperti ditohok tepat di ulu hati. Lalu saya tanyakan kenapa ia ingin saya kembali berjanji.

Jawabannya sederhana. Janji itu hutang. Hutang bisa membuat manusia punya semangat untuk melunasinya. Itu yang ia inginkan dari saya. Agar saya tetap punya semangat hidup & punya harapan untuk tetap menggantung tinggi mimpi saya. Mimpi saya sebenarnya sederhana saja. Ingin gendong cucu dari Nduk Ayu.

Kembali ke sentilan abang saya. Dalam banyak hal saya memang hancur lebur. Masih menyimpan banyak kata "seandainya". Seandainya saya sehat, seandainya saya bisa berbuat lebih untuk membahagiakan keluarga saya, seandainya bla bla bla. Masih sering melirik orang lain yang kelihatannya punya kehidupan jauh lebih mulus daripada kehidupan saya.

Saya jadi ingat Mbah Uti pernah mengatakan begini: urip kuwi mung sawang sinawang. Hidup itu (seringkali) hanya saling "melihat". Hasilnya adalah rumput tetangga kelihatan selalu lebih hijau. Membuat diri jadi lupa bersyukur.

Di sini saya dipaksa untuk menengok lagi kehidupan saya. Punya belahan jiwa yang memilih untuk tetap bertahan mendampingi saya dalam kondisi apa pun. Punya putri yang masih percaya terhadap janji saya. Punya abang yang masih mempercayai saya jadi teman bicara & ikut membimbing putra-putrinya. Punya keponakan-keponakan manis yang bisa menghibur. Punya pekerjaan yang memberi keleluasaan untuk menyelaraskannya dengan kondisi saya. Punya banyak sahabat yang memberi dukungan doa & semangat. Punya ART & sopir yang begitu setia ikut menjaga saya. Dan masih banyak lagi berkat yang harus saya hitung & syukuri lebih lanjut.

Kehidupan orang lain mungkin benar jauh lebih "hijau" daripada kehidupan saya. Setelah melihat itu saya punya pilihan untuk tenggelam dalam putus asa yang memang sudah ada bibitnya, atau justru bangkit dan tetap berjuang karena hingga saat ini saya sudah melangkah terlalu jauh.

Saya memutuskan untuk menjatuhkan telunjuk saya pada pilihan kedua dengan tetap memasrahkan seluruh titik berakhirnya waktu kehidupan saya hanya padaNya.

__________

(JP.17.07.2016.Chris Darmoatmojo)







7 komentar:

  1. Lek nyawang awakmu cek enake Al. Enoman awakmu kambek aku. Anakmu es mentas. Anakku jek bayek kabeh wkkkkkk

    Sido cuti dowoa? Piro bulan? Akeh rehat cekno cepet pulih. Gausah kakean baper kate ditinggal anak wedok.

    Ga e yoh kaet wingi omonganku dungaren rodok genah. Soro i! Wkkkkkk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ijoan suketku yo? Haha..
      Oleh cuti sakit 3 ulan.
      Ndak po2 awakmu dadi genah Nyut. Mumet nyawang awakmu slendro trs. Haha..

      Hapus
  2. Nah! Gitu dunkz! That's my bro πŸ‘πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur sembah nuwun. Gusti tansah mberkahi.

      Hapus
  3. kok tulisan yang ini aku baru baca yak ???

    untuk bisa "sawang-sinawang" memang harus "ditonjok" dulu ulu hatinya, mas.

    been there, done that.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Loh ke mana sj mba? Hehe... Matur nuwun rawuhipun.

      Hapus
  4. 😭😭😭😭😭Semangattt Om

    BalasHapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........