Setiap kali lepas dari ruang ICU saya seolah diberi berkat untuk sekali
lagi mendapat kesempatan melanjutkan hidup. Setelah sejak awal tahun lalu
berkali-kali harus mampir di ICU, yang terbaru saya alami adalah beberapa
minggu yang lalu.
Dengan kondisi kesehatan seperti ayunan yoyo di mana up & down nya
cepat sekali, sebetulnya saya mutlak memerlukan istirahat di akhir minggu.
Hampir 2 bulan yang lalu saya bersama 2 orang rekan sekantor & 2 junior
berstatus trainee harus berangkat dinas menjelang akhir minggu. Kamis malam
harus berangkat, menempuh perjalanan sekitar 17 jam dengan menggunakan pesawat.
Sampai di tujuan Jumat pagi waktu setempat & sudah ditunggu agenda
mengunjungi sebuah festival di mana Indonesia menjadi tamu kehormatan (bangga
lah!) pada sore harinya. Semuanya senang-senang saja begitu juga dengan saya
(walaupun dilanda jetlag). Masih ada
kesempatan istirahat pada hari Sabtu & Minggu.
Berada di tempat yang memiliki perbedaan waktu cukup jauh dari biasanya otomatis
menggeser pula waktu makan saya. Jadwal minum obat jadi cukup kacau di awal
tapi seterusnya (dianggap) OK. Rasanya belum selesai beradaptasi tapi jadwal
cukup padat pada hari Senin sudah menunggu. Demikian pula hari-hari berikutnya.
Sempat juga mengadakan perjalanan yang cukup jauh ke lain kota (pp dalam sehari).
Hari Kamis saya mulai drop. Menurut penerawangan saya sepertinya maag saya
kambuh. Hari Jumat saya sudah tidak bisa lagi memenuhi agenda “perpisahan”
& hanya bisa terkapar di kamar dengan rasa sakit mulai menjalar hingga ke bagian
bawah ulu hati. Tapi saya masih bisa nyicil membuat laporan seharian itu &
berhasil mengirim selengkapnya melalui email pada atasan saya sebelum jadwal pulang.
Pihak kantor induk sudah menawari saya untuk mendatangkan dokter tapi saya
tolak dengan alasan saya sudah membawa obat-obatan cukup banyak untuk
mengantisipasi segala kemungkinan. Padahal.. saya yakin kalau dokter sampai
berhasil memeriksa saya maka bisa dipastikan saya tertahan di sana lebih lama.
Ndak bisa pulang bareng rombongan pada hari Sabtu. Lah bagaimana wong saya sudah
terlanjur kangen sama istri..
Hari Sabtu malam dengan mengucap “horee!!” saya berhasil naik pesawat tanpa
lepas dari pain killer. Lebih baik daripada saya tertinggal sendirian di sana.
17 jam lagi di pesawat harus saya lalui dengan kondisi setengah teler. Menjelang akhir perjalanan pain killer
nampaknya sudah mogok bekerja (lagi pula sudah di ambang batas dosis yang
diperbolehkan untuk saya) tapi puji Tuhan saya masih sanggup turun dari pesawat & berjalan mencapai
mobil pada hari Minggu menjelang malam. Setelahnya? Saya ndak ingat apa-apa
lagi karena kolaps dengan suksesnya setelah didahului kepala pusing & rasa sakit yang luar biasa di bagian
perut.
Saat sadar saya mendapati bahwa saya ada di ICU (belakangan tahu itu di RS
“langganan”). Itu pun pada hari ke-4 dengan masih ada sisa rasa sakit padahal
pencernaan saya sudah murni dipuasakan sejak detik pertama saya masuk ke ICU (ternyata
ada luka di lambung & usus, kecil-kecil tapi banyak, iritasi parah akibat efek
obat yang harus saya minum plus kelelahan, sudah menjurus ke infeksi).
Belakangan saya tahu dari istri saya kalau selama 4 hari saya ndak sadar di
ICU itu ada beberapa “horor” yang saya ciptakan (haha.. berasa jelmaan
zombie!). Saya sendiri ndak ingat saya kenapa atau minta apa tapi yang jelas kedua
kaki saya bengkak (efek perjalanan jauh), mengalami demam tinggi, saya
kesakitan sekali (sampai katanya berkali-kali ngomong ndak kuat), megap-megap
karena sesak napas & mengigau menanyakan (almarhum) adik saya & putri
saya (yang masih ketinggalan nun jauh di sana) yang menurut saya baru saja ada
di situ. Kejadian terakhir ini kebetulan “menimpa” keponakan saya yang lagi menjenguk
& dia langsung terbirit-birit keluar dengan wajah pucat hehe..
Saya masih tertahan 2 hari berikutnya di ICU sebelum kondisi saya
dinyatakan benar-benar stabil & boleh pindah ke kamar biasa pada hari Sabtu
sore. Total 6 hari saya ada di ICU & selama itu pula istri saya sama sekali
ndak pulang ke rumah karena terus mendampingi saya.
Selama dirawat lanjutan di kamar biasa dan istirahat di rumah (total 1 bulan saya ndak ngantor. 1 minggu lebih dinas luar, 2 minggu di RS, 1 minggu istirahat di rumah) ada banyak waktu buat saya untuk
review apa yang sudah saya alami. Salah satu agenda dinas saya beberapa
hari sebelumnya adalah memberi motivasi pada para trainee (dari beberapa negara
berbeda) tentang semangat bekerja.
Kami (saya & salah seorang rekan dari kantor Kanada) kebetulan mengidap
penyakit serupa (walau lain jurusan). Status rekan saya itu “lebih tinggi”
karena ia adalah survivor sementara saya masih dalam masa remisi. Kami berdua
didapuk untuk memberikan motivasi bahwa orang penyakitan seperti kami saja
masih punya semangat untuk bekerja dengan baik karena diberi kesempatan &
masih dipercaya untuk mengembangkan kemampuan diri, apalagi yang masih muda
& sehat seperti mereka.
Agenda seperti itu kami rasakan lebih seperti acara curhat ayah & anak.
Tapi justru dengan itu anak-anak muda ini makin menyadari kesempatan emas yang
mereka miliki & sudah ada dalam genggaman. Harapannya kelak mereka dapat
bekerja dengan baik, loyal & tetap bersemangat.
Senyatanya hingga detik ini saya masih diberi kesempatan yang kesekian
kalinya untuk bisa kembali bernapas dengan bebas. Masih boleh bekerja dengan
banyak kelonggaran. Jam kerja saya jatahnya 40 jam seminggu. Kalau normal 40
jam seminggu itu dibagi 5 dari Senin sampai Jumat jadi 8 jam per hari. Tapi saya
sering keteter pada hari Jumat. Sudah terlalu cape. Berangkat dari rumah jam 6
pagi & sampai rumah lagi jam 6 sore (bahkan bisa lebih). Begitu selama 5
hari nonstop.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk menghadap boss membicarakan masalah
jam kerja saya. Saya bersedia bekerja 10 jam sehari hanya dari hari Senin
sampai Kamis. Jumat siang jam 1 saya bersedia ikut meeting dari rumah secara
tele-conference sampai selesai (ndak apa-apa meskipun ndak dihitung jam kerja).
Boss setuju, dibawa lagi ke big boss, big boss setuju. Jadilah sekarang saya hanya
bekerja 4 hari saja dalam seminggu. Capenya sama, tapi waktu istirahat saya
lebih panjang di akhir minggu. Selama beberapa minggu ini menjalaninya saya
merasa lebih nyaman. Pekerjaan saya lancar, masih bisa koordinasi dengan baik
dengan para staf, masih bisa mengikuti meeting evaluasi secara “langsung”,
istirahat cukup.
Saya tidak tahu sampai berapa kali lagi akan diberi kesempatan untuk
melanjutkan hidup tapi saya tahu saya memang harus memperjuangkan itu. Ketika
datang menjenguk, seorang sahabat saya bercerita bahwa istri saya sempat curhat
padanya ketika saya masih berada di ICU. Intinya istri saya belum siap untuk
saya tinggalkan. Di situ saya diingatkan untuk terus menjaga harapan & mimpi
saya agar saya tetap punya semangat untuk hidup.
Saya memang masih memiliki beberapa harapan & mimpi. Menitipkan putri
saya pada orang yang benar-benar bisa menjaganya (sudah terlaksana setengah
jalan, putri saya sudah dilamar cowonya tepat pada hari ulang tahun saya
beberapa waktu lalu), melihatnya berbahagia dengan kehidupannya kelak, mungkin
lebih jauh lagi masih ingin melewati hari tua bersama istri tercinta &
memeluk makhluk-makhluk kecil imut yang memanggil kami nenek & kakek.
Mungkin harapan saya terlalu tinggi & mimpi saya terlalu jauh, tapi
mungkin juga tidak. Yang lebih penting adalah melakukan apa yang saat ini masih
bisa saya lakukan. Bekerja maksimal, melakukan karya-karya lain sebaik-baiknya,
sambil membahagiakan istri serta putri saya. Semoga masih ada kemurahan hati
dari Tuhan agar saya masih bisa menikmati kesempatan-kesempatan yang datang
berikutnya.
(JP.21.10.2015.Chris D.a)
Tetep semangaaattt, Mas!
BalasHapusMaturnuwun Jeng..
HapusSemangat pak Kris, ayo anda bisaaa.
BalasHapusTrm kasih mba. Ya ttp semangaat! Salam..
Hapussemangat dan sehat terus ya pak :)
BalasHapusYa mba. Trm kasih :)
HapusMbrebes mili. Yang kuat ya pak.
BalasHapusKuat kok mba. Bnyk yg doakan :) Salam..
HapusTetap sehat dan semangat Pak! Selamat juga fiksi Katakan Cintanya dijadiin buku...
BalasHapusTrm kasih mba. Btw buku apa ya?
HapusBuku kupulan cermin event Katakan Cinta Kompasiana...
HapusO itu.. Iya mba trm kasih :)
Hapusjaga kesehatan, ya mas...
BalasHapusnjenengan mengemban kepercayaan besar.
biasanya orang yg diberi amanah besar itu juga dikuatkan segalanya...
Smg ya mba Dani. Trm kasih supportnya :)
HapusSalam..