Jumat, 11 September 2015

Rotasi September





September sudah berotasi 14 kali sejak kau terbang tinggi. Tanpa aku boleh menatap wajahmu untuk yang terakhir kali. Sejak kita terpisah hingga kau harus pergi meninggalkanku dalam abadi. Saat seharusnya kau membawaku dalam ingatan di sela desah-desah nafas terakhirmu. Seharusnya saat ini aku datang untuk menabur bunga di pusaramu. Sejak sebuah deretan tanggal yang tertera pada nisanmu bisa kusimpan dalam ingatanku. Tapi maafkan aku Pa. Aku sedang tak bisa.


Aku ingin utuh mengenang sosokmu dari tenunan tiap lembar benang tipis yang kutarik dari lembar ingatan yang kian lusuh dalam otakku. Ketika aku makin tak mampu mengingat setiap detik manis dan pahit yang pernah kulewati dalam dekapan hangatmu. Karena waktu terlanjur terbentang melebar. Hampir tak bisa kutiti dari tepi ke tepi. Mengikis setiap titik kenangan tentangmu.

Terkadang aku merindukanmu Pa. Pada setiap hening malam dan teriknya siang yang memelukku erat. Memaksaku terpaku pada hakikat tetes demi tetes darah yang ada di tubuhku. Sebagian adalah darahmu. Tak bisa teringkar oleh apapun juga.

Tapi waktu berbaik hati hingga semuanya terungkap sudah. Tentang lembar hitam dan putih yang mewarnaiku jadi abu-abu. Tentang sejarah kelam dan bening yang tergambar pudar dalam hidupku. Tentang besarnya kasihmu yang masih bisa kuingat hingga detik ini.

Walau wajahmu kian samar berbaur dengan berbagai gambar dan tiap cetakan skenario yang kadang aku tak mau melakoni, masih tersimpan rindu ini untukmu. Selalu ada. Terucap dalam bait doa yang kugumamkan tiap malam. Menyebut namamu di belakang namanya yang menggantikanmu dalam hidupku.

Tempat untukmu sudah kukunci Pa. Kusiapkan di sebuah sudut hatiku. Hanya untukmu. Berisi setiap sisa kenangan yang masih bisa kukais dari ceceran remah-remah waktu. Yang akan kubuka setiap kali aku sendirian dan merasa rindu.

Seperti saat ini. Saat aku terasing dan terpenjara dalam sunyiku. Sementara sekitarku riuh bercerita tentang episode-episode kehidupan dan alinea-alinea harapan. Tapi jangan khawatirkan aku. Aku tak apa-apa. Berusaha tegar dengan mengingat setiap rindu yang pernah terkumpul.

Ini rindu yang sama. Berbaur tiap kali September pelan-pelan berotasi. Hingga kelak semuanya beku membisu. Dan aku menemukanmu lagi. Berharap masih ada sisa pelukan hangat untukku.

(Teruntuk Papaku Gerardus Sukendro. RIP Sept 11, 2001 – Sept 11, 2015)

1 komentar:

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........