September sudah berotasi 14 kali sejak kau terbang tinggi. Tanpa aku boleh menatap
wajahmu untuk yang terakhir kali. Sejak kita terpisah hingga kau harus pergi
meninggalkanku dalam abadi. Saat seharusnya kau membawaku dalam ingatan di sela
desah-desah nafas terakhirmu. Seharusnya saat ini aku datang untuk menabur
bunga di pusaramu. Sejak sebuah deretan tanggal yang tertera pada nisanmu bisa kusimpan dalam ingatanku. Tapi maafkan aku Pa. Aku sedang tak bisa.
Aku ingin utuh mengenang sosokmu dari tenunan tiap lembar benang tipis yang
kutarik dari lembar ingatan yang kian lusuh dalam otakku. Ketika aku makin tak
mampu mengingat setiap detik manis dan pahit yang pernah kulewati dalam dekapan
hangatmu. Karena waktu terlanjur terbentang melebar. Hampir tak bisa kutiti
dari tepi ke tepi. Mengikis setiap titik kenangan tentangmu.
Terkadang aku merindukanmu Pa. Pada setiap hening malam dan teriknya siang
yang memelukku erat. Memaksaku terpaku pada hakikat tetes demi tetes darah yang
ada di tubuhku. Sebagian adalah darahmu. Tak bisa teringkar oleh apapun juga.
Tapi waktu berbaik hati hingga semuanya terungkap sudah. Tentang lembar
hitam dan putih yang mewarnaiku jadi abu-abu. Tentang sejarah kelam dan bening
yang tergambar pudar dalam hidupku. Tentang besarnya kasihmu yang masih bisa
kuingat hingga detik ini.
Walau wajahmu kian samar berbaur dengan berbagai gambar dan tiap cetakan
skenario yang kadang aku tak mau melakoni, masih tersimpan rindu ini untukmu.
Selalu ada. Terucap dalam bait doa yang kugumamkan tiap malam. Menyebut namamu
di belakang namanya yang menggantikanmu dalam hidupku.
Tempat untukmu sudah kukunci Pa. Kusiapkan di sebuah sudut hatiku. Hanya
untukmu. Berisi setiap sisa kenangan yang masih bisa kukais dari ceceran remah-remah
waktu. Yang akan kubuka setiap kali aku sendirian dan merasa rindu.
Seperti saat ini. Saat aku terasing dan terpenjara dalam sunyiku. Sementara
sekitarku riuh bercerita tentang episode-episode kehidupan dan alinea-alinea harapan.
Tapi jangan khawatirkan aku. Aku tak apa-apa. Berusaha tegar dengan mengingat
setiap rindu yang pernah terkumpul.
Ini rindu yang sama. Berbaur tiap kali September pelan-pelan berotasi. Hingga
kelak semuanya beku membisu. Dan aku menemukanmu lagi. Berharap masih ada sisa
pelukan hangat untukku.
(Teruntuk Papaku Gerardus Sukendro.
RIP Sept 11, 2001 – Sept 11, 2015)
Kita percaya om Gerardus sudah bahagia di sisi kanan Bapa
BalasHapus