Peristiwa yang satu ini
tidak akan pernah terlupakan. Haid pertama putri saya yang terjadi ketika dia
kelas 1 SMP dan mamanya tengah berada di Australia untuk sejenak berlibur
bersama teman-temannya. Waktu itu kami baru saja beberapa bulan kehilangan baby
boy kami, dan saya rasa dia perlu liburan untuk membantu memulihkan kondisi
psikisnya.
Ketika hal itu terjadi,
kami hanya bertiga saja di rumah. Putri saya, Emak (asisten RT), dan saya.
Sebetulnya menghadapi seorang gadis kecil yang mengalami haid pertama ini
adalah peristiwa kedua buat saya. Yang pertama dulu adik perempuan saya
sendiri. Mendapat haid pertama ketika sedang liburan ke rumah saya. Tapi saat
itu lebih banyak abang saya yang menangani.
Tentu saja sensasinya
lain. Yang pertama saya mengalaminya “cuma” sebagai abang. Dan yang kedua ini
sebagai papa.
Reaksi saya tentu harus
menenangkan putri kecil saya yang cukup khawatir dengan kondisinya. Di sekolah,
saat kelas 5-6 SD, dia memang pernah mendapatkan sex education. Setahu saya,
diberikan secara terpisah antara anak perempuan dan laki-laki. Tapi
menghadapinya secara langsung untuk pertama kalinya tentu saja bisa menimbulkan
berbagai rasa dan pertanyaan. Apalagi dia sempat merasakan sakit perut, pusing,
dan sebagainya.
Sekitar 2 hari dia ndak
masuk sekolah dan saya mengalah dengan mengambil cuti. Boss saya sempat bengong
ketika saya menyatakan alasannya tapi karena saya punya hak untuk itu
(mengambil cuti) maka beliau pun ACC tanpa banyak repot.
Urusan beli pembalut, cara
memakai, cara membersihkan, saya mengandalkan Emak karena tentunya sebagai
sesama perempuan Emak lebih paham dan putri saya lebih nyaman menerima
penjelasan. Selebihnya harus saya yang menangani.
Putri saya cukup
introvert. Seperti gong. Tidak bicara kalau tidak dipancing atau ditanya. Jadi
saya harus mencari celah untuk mencari tahu apa saja yang dirasakannya atau
dipikirkannya. It’s not an easy thing. Tapi saya cukup melihat sedikit
ketakutan ada di tengah rasa sakitnya.
Perlu untuk mengetahui apakah
dia sudah cukup paham konsep tentang haid itu sendiri. Dan dari pembicaraan
kami, saya simpulkan bahwa dia sudah cukup paham tentang kondisi itu. Hanya
saja karena ini pengalaman pertama, maka ada berbagai rasa takut dan khawatir
ketika saat itu benar-benar datang.
Hal-hal yang saya rasa
penting untuk dipahami anak terlebih dahulu adalah :
1. Apa sebetulnya haid
itu?
2. Siapa yang
mengalaminya?
3. Kira-kira seperti apa
rasanya?
4. Apa yang berubah dari
dirinya ketika saat itu tiba?
Dalam sex education yang
diterimanya, dia sudah tahu secara singkat tentang proses terjadinya haid di
dalam tubuhnya. Setiap perempuan normal pasti akan mengalaminya di usia
tertentu. Dan ketika dia mendapatkan itu, maka kehidupannya pun berubah. Ada
banyak hal yang membuatnya harus lebih berhati-hati lagi karena kondisi
fisiologisnya sudah bergerak ke arah lebih dewasa dengan berbagai “kemungkinan
buruk” bisa terjadi. Secara sederhana dia sudah memahami semua itu. Tinggal
mengelola “rasanya” yang sekarang harus dia alami langsung.
Tentang rasa nyeri dan
sebagainya, pertama kali saya terpaksa mengatasinya dengan memberinya obat anti
nyeri (oral) karena sepertinya itu bisa lebih menenangkan dia. Hanya sekali,
karena ketika efek obat itu habis saya mencoba mengatasinya dengan memberi
kompres hangat. Cara berikutnya yang kami coba adalah balsem. Dan tampaknya dia
merasa lebih nyaman dengan olesan balsem (di perut, punggung, sekitar pinggang)
dan kompres hangat di perut, tanpa obat anti nyeri.
Hari pertama berlalu
dengan baik. Hari kedua tinggal meneruskan perlakuan yang sama dengan
kemarinnya dan tampaknya kondisinya sudah membaik. Hari ketiga dia sudah bisa
masuk sekolah lagi.
Bagi putri saya datangnya
fase itu adalah hal cukup besar bagi hidupnya. Dia pernah mengatakan bahwa dia
bersyukur saya yang ada di sampingnya saat fase itu tiba, dan bukannya mamanya.
Dia merasa lebih nyaman dengan kehadiran saya. Jujur, mamanya dan saya punya konsep berbeda
tentang “menghadapi rasa sakit”. Mamanya lebih menekankan untuk “jangan cengeng”
sementara saya lebih berpikir untuk “bagaimana mengatasi rasa sakit itu dengan
lebih nyaman”. Saya tidak terlalu memahami psikologi, tapi saya pikir perlu
bagi si gadis kecil ini untuk memahami bahwa “ketika rasa sakit itu datang, boleh
mengeluh, asal tidak berlebihan, dan yang lebih penting adalah bagaimana cara yang
dirasa nyaman untuk mengatasinya”.
Selanjutnya datangnya “tamu
bulanan” itu sudah jadi hal biasa dalam kehidupan putri saya. Buat saya
pribadi, menjadi bagian dari peristiwa pertama yang dia alami itu adalah sebuah
hal terindah yang pernah saya rasakan sebagai seorang papa. Tak akan terlupakan
seumur hidup.
__________
(SH.27.02.2015.Chris
D.a)
Uwoooooooowwww gag slh kan yak klu somplakers ngefans ama om! Co cuwiiiiiiiiiit
BalasHapusOm bukannya om gi di rs ya? *saliiiiiiiiim
Trm kasih Tintin (C)
HapusAawwwhh pak Chris mah emang hot papa de!
BalasHapusBegitukah Rachma? :) (C)
Hapus