Jumat, 27 Februari 2015

Papa Dan Haid Pertama



Peristiwa yang satu ini tidak akan pernah terlupakan. Haid pertama putri saya yang terjadi ketika dia kelas 1 SMP dan mamanya tengah berada di Australia untuk sejenak berlibur bersama teman-temannya. Waktu itu kami baru saja beberapa bulan kehilangan baby boy kami, dan saya rasa dia perlu liburan untuk membantu memulihkan kondisi psikisnya.

Ketika hal itu terjadi, kami hanya bertiga saja di rumah. Putri saya, Emak (asisten RT), dan saya. Sebetulnya menghadapi seorang gadis kecil yang mengalami haid pertama ini adalah peristiwa kedua buat saya. Yang pertama dulu adik perempuan saya sendiri. Mendapat haid pertama ketika sedang liburan ke rumah saya. Tapi saat itu lebih banyak abang saya yang menangani.


Tentu saja sensasinya lain. Yang pertama saya mengalaminya “cuma” sebagai abang. Dan yang kedua ini sebagai papa.

Reaksi saya tentu harus menenangkan putri kecil saya yang cukup khawatir dengan kondisinya. Di sekolah, saat kelas 5-6 SD, dia memang pernah mendapatkan sex education. Setahu saya, diberikan secara terpisah antara anak perempuan dan laki-laki. Tapi menghadapinya secara langsung untuk pertama kalinya tentu saja bisa menimbulkan berbagai rasa dan pertanyaan. Apalagi dia sempat merasakan sakit perut, pusing, dan sebagainya.

Sekitar 2 hari dia ndak masuk sekolah dan saya mengalah dengan mengambil cuti. Boss saya sempat bengong ketika saya menyatakan alasannya tapi karena saya punya hak untuk itu (mengambil cuti) maka beliau pun ACC tanpa banyak repot.

Urusan beli pembalut, cara memakai, cara membersihkan, saya mengandalkan Emak karena tentunya sebagai sesama perempuan Emak lebih paham dan putri saya lebih nyaman menerima penjelasan. Selebihnya harus saya yang menangani.

Putri saya cukup introvert. Seperti gong. Tidak bicara kalau tidak dipancing atau ditanya. Jadi saya harus mencari celah untuk mencari tahu apa saja yang dirasakannya atau dipikirkannya. It’s not an easy thing. Tapi saya cukup melihat sedikit ketakutan ada di tengah rasa sakitnya.

Perlu untuk mengetahui apakah dia sudah cukup paham konsep tentang haid itu sendiri. Dan dari pembicaraan kami, saya simpulkan bahwa dia sudah cukup paham tentang kondisi itu. Hanya saja karena ini pengalaman pertama, maka ada berbagai rasa takut dan khawatir ketika saat itu benar-benar datang.

Hal-hal yang saya rasa penting untuk dipahami anak terlebih dahulu adalah :
1. Apa sebetulnya haid itu?
2. Siapa yang mengalaminya?
3. Kira-kira seperti apa rasanya?
4. Apa yang berubah dari dirinya ketika saat itu tiba?

Dalam sex education yang diterimanya, dia sudah tahu secara singkat tentang proses terjadinya haid di dalam tubuhnya. Setiap perempuan normal pasti akan mengalaminya di usia tertentu. Dan ketika dia mendapatkan itu, maka kehidupannya pun berubah. Ada banyak hal yang membuatnya harus lebih berhati-hati lagi karena kondisi fisiologisnya sudah bergerak ke arah lebih dewasa dengan berbagai “kemungkinan buruk” bisa terjadi. Secara sederhana dia sudah memahami semua itu. Tinggal mengelola “rasanya” yang sekarang harus dia alami langsung.

Tentang rasa nyeri dan sebagainya, pertama kali saya terpaksa mengatasinya dengan memberinya obat anti nyeri (oral) karena sepertinya itu bisa lebih menenangkan dia. Hanya sekali, karena ketika efek obat itu habis saya mencoba mengatasinya dengan memberi kompres hangat. Cara berikutnya yang kami coba adalah balsem. Dan tampaknya dia merasa lebih nyaman dengan olesan balsem (di perut, punggung, sekitar pinggang) dan kompres hangat di perut, tanpa obat anti nyeri.

Hari pertama berlalu dengan baik. Hari kedua tinggal meneruskan perlakuan yang sama dengan kemarinnya dan tampaknya kondisinya sudah membaik. Hari ketiga dia sudah bisa masuk sekolah lagi.

Bagi putri saya datangnya fase itu adalah hal cukup besar bagi hidupnya. Dia pernah mengatakan bahwa dia bersyukur saya yang ada di sampingnya saat fase itu tiba, dan bukannya mamanya. Dia merasa lebih nyaman dengan kehadiran saya.  Jujur, mamanya dan saya punya konsep berbeda tentang “menghadapi rasa sakit”. Mamanya lebih menekankan untuk “jangan cengeng” sementara saya lebih berpikir untuk “bagaimana mengatasi rasa sakit itu dengan lebih nyaman”. Saya tidak terlalu memahami psikologi, tapi saya pikir perlu bagi si gadis kecil ini untuk memahami bahwa “ketika rasa sakit itu datang, boleh mengeluh, asal tidak berlebihan, dan yang lebih penting adalah bagaimana cara yang dirasa nyaman untuk mengatasinya”.

Selanjutnya datangnya “tamu bulanan” itu sudah jadi hal biasa dalam kehidupan putri saya. Buat saya pribadi, menjadi bagian dari peristiwa pertama yang dia alami itu adalah sebuah hal terindah yang pernah saya rasakan sebagai seorang papa. Tak akan terlupakan seumur hidup.

__________

(SH.27.02.2015.Chris D.a)

4 komentar:

  1. Uwoooooooowwww gag slh kan yak klu somplakers ngefans ama om! Co cuwiiiiiiiiiit
    Om bukannya om gi di rs ya? *saliiiiiiiiim

    BalasHapus
  2. Aawwwhh pak Chris mah emang hot papa de!

    BalasHapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........