Minggu, 18 Juni 2017

(T'sC) Just A Little Note



Mengawali perjalanan kemari dgn rasa gamang, aku harus mengakhirinya dgn rasa yg sama. Aku gamang harus meninggalkan pak Chris yg kondisi kesehatannya nda bisa diprediksikan. 2 minggu itu waktu yg cukup panjang di mana sehari saja situasinya bisa berubah dari plus ke minus & itu sudah berkali-kali terjadi. Tapi berkali-kali pula ia meyakinkan bahwa nda akan kenapa2. Lagipula ia tau betul bahwa aku sudah kangen sekali pada si Ucrit. Oklah aku berusaha untuk percaya. Sampai waktunya aku harus berangkat ia nda apa2. Bahkan sampai detik ini waktunya aku harus pulang kondisinya masih terkendali.


Seperti yg sudah kutuliskan di awal aku juga meninggalkan si Ucrit dgn rasa gamang. Sama sekali bukan karena ia nda baik-baik saja. Bukan itu. Kondisi anak gadisku ini sungguh prima. Sudah mulai berisi lagi setelah terlalu ceking & ditegur papanya. Makannya mulai teratur & bergizi. Ia juga sudah terampil memasak sendiri. Sudah mulai betah juga di tempat kerja. Ia bilang suasananya menyenangkan & sesuai dgn ritme kerja yg ia inginkan. Cukup sibuk sehingga nda homesick melulu.  Pada dasarnya ia pekerja keras sama seperti papanya. Apartemen 1 kamarnya juga sangat nyaman walaupun harus ditebus dgn anggaran lebih dari €600 sebulan. Tapi gajinya cukup. Bahkan ia menunjukkan catatan rekeningnya. Membuatku kaget karena ia bisa menyisihkan lebih 60% gajinya untuk cemplung di tabungan. Pendeknya aku tau ia bisa survive.

Lalu kenapa? Pada saat2 seperti ini selalu saja ada penyesalan. Seandainya saja aku nda terlalu tolol & bisa memanfaatkan waktu bersamanya dgn lebih baik sejak ia bayi sampai saatnya harus mandiri. Tapi penyesalan itu tinggal jadi hal yg percuma. Kenyataannya aku tiba2 saja harus siap kehilangan ia karena ia sudah siap untuk menjalani kehidupannya sendiri. Seharusnya aku senang karena ini kan yg aku inginkan? Ia bisa mandiri & jadi perempuan yg kuat. Tapi nda bisa dipungkiri bahwa aku merasa kosong karena ia jadi seperti itu bukan karena aku. Aku hanya tinggal melihat & menikmati hasilnya saja. Semua karena kehendak Yg Di Atas, dgn kerja keras papanya & dirinya sendiri.

Awal aku ada di sini ia sudah menawariku ke mana saja aku mau saat weekend karena aku pegang visa schengen. Tapi aku nda mau. Aku hanya mau berdua saja dgnnya di apartemen. Hanya pindah tidur & ganti teman hidup selama 2 minggu. Sehari-hari menunggunya pulang kerja. Masak untuk ia. Kadang2 aku keluar ke sekitar apartemen sekedar melemaskan kaki. Nda jauh2 takut nyasar. Kemarin hari Jumat sempat ke toko Asia sendirian yg nda jauh dari apartemen. Sekedar belanja untuk isi kulkasnya yg sudah mulai kosong lagi. Sudah pernah diajak ke sana jadi nda nyasar ha ha.... Ia tertawa tau aku nda mau ke mana2 tapi menuruti saja kemauanku. "Yg penting mama happy!" Ya tentu saja aku happy karena bisa menuntaskan rindu, melihat ia baik-baik saja & lari sebentar dari rutinitas Jakarta.

Satu hal lagi yg membuatku gamang. Dgn terbuka ia bertanya "gimana seandainya aku nda pulang dalam jangka waktu lama entah di sini atau di negara lain?" Sungguh aku nda tau jawaban terbaiknya. Secara logika aku harus mengatakan "nda apa2, itu hidupmu" tapi secara emosi kok rasanya berat sekali. Anak satu2nya kenapa harus jauh sekali? Ketika aku coba mengadu pada pak Chris jawabannya sungguh di luar dugaan. Selama ini aku tau sebesar apa sayangnya pada Nduk Ayu. Aku berharap dia sama sepertiku. Keberatan & suatu saat nanti memintanya pulang. Tapi serasa hatiku dijetot ketika ia menjawab begini: "kalau memang kita minta ia pulang apa ada jaminan kita bisa beri dia hidup yg lebih baik? Ia sudah besar, sudah bisa menentukan jalannya sendiri. Sepanjang itu baik kenapa nda kita dukung?" Lama aku terkesima sampai ia menambahkan: "awalnya aku juga seperti mama. Takut kehilangan ia. Tapi buat apa aku pasang tulisan besar2 di seberang meja kalau cuma sekedar pajangan?" Ya di ruang kerjanya di rumah memang ada kutipan tentang anak dari Kahlil Gibran. Aku nda hafal bunyinya tapi intinya itu anak punya kehidupannya sendiri, bukan milik orangtuanya.

Jawaban itu yg akhirnya kucopas. Ia kelihatan lega, setelah itu baru omong "aku sebenarnya dapat jatah libur awal summer 2 minggu, dah cari2 tiket buat pulang, tapi aku ditawari ikut training di Kanada. Dah tanya papa. Papa bilang berangkat aja buat pengalaman. Lagian duitnya gede ma. Aku masih mata duitan." Mau nda mau aku tertawa. Mata duitan itu sih nurun dari mamanya ini ha ha.... 

Tapi aku masih juga merasa gamang. Sepertinya masih butuh waktu untuk membiasakan diri melepaskan ia terbang makin tinggi. Aku masih merasakan pelukannya baru saja saat melepasku masuk ke terminal keberangkatan. Pada saat seperti ini sepertinya peribahasa yg satu ini nda tepat: kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Karena aku tau rasa sayangku dan papanya pada ia begitu besar, tapi kasihnya padaku dan papanya sepanjang jalan.

Aku bangga padanya walaupun aku nda ada kontribusi apa2. Sedang berusaha untuk rela hati melepaskannya terbang makin tinggi & menghapus rasa gamang. Catatan ini hanya untuk mengingatkanku supaya bersyukur atas segala hal yg pernah & sudah kuperoleh. Lalu aku akan kembali pada rutinitasku. Kembali merawat belahan jiwaku & anak2 yg sudah dititipkan pada kami.


(Tiwi'sCorner.Terminal1-FRA.17Juni2017)


2 komentar:

  1. Wah, aku harus siap-siap mulai sekarang ya, Mbak... 😧
    Welcome home...

    BalasHapus
  2. Ah emput anake heibad.
    Mamae 'n papae jugak bu Tiwi.
    Kluarga kweren pokoe.

    BalasHapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........