Minggu, 19 Februari 2017

Gerbong Yang Salah



Analogi gerbong yang salah ini saya dapatkan dari almarhum adik saya. Semasa ia hidup saya ndak selalu ada di dekatnya. Tapi ada saat-saat tertentu kami punya waktu untuk bertemu & mengobrol banyak.

Ada kalanya kehidupan berjalan ndak sesuai dengan yang kita harapkan. Mau jalan one way ke kota A, naik kereta X. Ndak tahunya malah kejebur ke gerbong yang salah, naik kereta Y ke kota B. Ndak bisa balik & harus dijalani. Analogi ini ia pahami ketika sudah berada dalam fase menerima kenyataan bahwa ia mengidap kanker. Ternyata di kemudian hari saya pun mengalami hal yang sama.

Ada banyak gerbong salah yang saya masuki. Gerbong yang ndak saya inginkan dalam perjalanan hidup saya, tapi ternyata harus saya lalui juga. Setiap kali itu terjadi, saya selalu ingat pada almarhum adik saya. Pada 2 pilihan. Menggerutu sepanjang perjalanan atau justru berusaha menikmatinya (meskipun sempat menggerutu sesaat, fase denial). Ia selalu memilih hal yang terakhir. Membuat ia tetap bersemangat menjalani sisa usia hingga perjalanan hidupnya berakhir. Berhasil melampaui sekitar 1 tahun dari perkiraan dokter.

Kita hampir tak pernah tahu ke mana ujung dari perjalanan setiap gerbong itu. Berakhir di kegelapan hutan ataukah di padang rumput yang indah. Hal ini pula yang pernah saya ungkapkan pada putri saya.

Entah kenapa saya merasa bahwa ia akan masuk ke gerbong yang salah saat kontrak kerjanya ditandatangani. Saat itu ia mengatakan "ndak apa-apa Pa. Kesempatan ndak datang 2x". Benar. Ia akhirnya ditempatkan di negara lain yang begitu jauh dari kehangatan rumah.

6 bulan lalu ia berangkat & minggu kemarin saya punya kesempatan untuk bertemu dengannya. Jujur saya shock. Putri saya mengempis. Terjun bebas 9 kg dalam kurun waktu 6 bulan. Selama ini sama sekali ndak terlihat di skype karena cuma terlihat wajah saja. Mungkin terlihat tapi saya mengabaikannya. Menganggapnya sebagai proses adaptasi. Tapi adaptasi apa yang sudah menggerus badannya jadi sekecil itu?

Ia memang tertawa ketika saya mencoba untuk membahas ini dengannya. "Aku pilih sendiri karcisnya toh Pa. Salah atau ndak ya sudah syukuri & nikmati saja." Sebagai seorang ayah, saya ingin bawa ia pulang detik itu juga. Tapi saya kemudian ingat bahwa ia bukan lagi gadis kecil berumur 10 th yang masih butuh tuntunan & bimbingan agar bisa terkendali. Ia kini sudah dewasa meskipun selamanya akan tetap jadi gadis kecil saya. Sedewasa itulah ia berusaha memandang hidup. Bahwa hidup ndak melulu soal keinginan, tapi masih ada kesempatan & juga kebutuhan, yang semuanya ada di dalam "gerbong yang salah" itu. Perlu sekali untuk menikmati perjalanan & melupakan gerutuan.

Mungkin ia memang hanya sekedar menghibur saya. Supaya papanya yang baperan ini ndak terlalu khawatir & berpikir "aneh-aneh".

Ada satu hal yang saya tahu & saya ingin ia pun tahu. Bahwa dari setiap gerbong salah yang saya lalui bersamanya, ia & mamanya adalah bagian yang terindah.

__________

(JP.19.02.2017.Chris Darmoatmojo)





4 komentar:

  1. Wes muleh yoh awakmu Al? Sehat? Areke sehat? Pokoke sehat kabe ae gapopo.
    (dungaren komenku lempeng iki yoh? blaen lek aku waras ngene. isok duwe bayek meneh aku! wkwkwkwkwkwk)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha.. Dongamu ndak manjur Nyut! Ndak popo manako maneh, takpek e hehe..

      Hapus
  2. Pak Chris, apa kabar? Lama saya nggak mampir ke sini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo mba Putri. Ke mana sj kok ndak aktif ngeblog? (pdhl aku ndak kalah malesnya hehe..)

      Hapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........