Rabu, 31 Agustus 2016

Layang-layang Berbentuk Bintang




Angin berhembus tiba-tiba. Menggoyangkan rambut yang jatuh tak beraturan di keningnya. Ia tersentak dan menoleh padaku.

"Angin Papa!" serunya, beranjak berdiri.

Aku mengangguk.

"Kita terbangkan layang-layangnya Papa! Kita terbangkan layang-layangnya!"

Terburu-buru kugapai layang-layang besar berbentuk bintang berwarna merah  yang tergeletak di sebelahku. Angin terus berhembus. Cukup kencang. Dan kami pun bersiap di tepi lapangan.

Kuulur benang sepanjang beberapa meter. Mengikuti langkah kecilnya  ketika membawa layang-layang itu menjauh.

"Cukup Nak!" seruanku membuatnya berhenti melangkah.

Ia berbalik, memegang ujung kanan-kiri layang-layang itu dengan kedua tangan mungilnya. Kutarik benang dan ia melepaskan layang-layang itu.

Bintang merah kami mengangkasa. Meliuk-liukkan ekornya yang terdiri dari puluhan pita warna-warni. Layang-layang  yang kami buat seharian kemarin itu menari indah di bawah gumpalan-gumpalan awan putih.

Ia kembali ke dekatku. Berlari kecil sambil bertepuk tangan.

"Bagus Papa!" serunya penuh keriangan.

Aku tersenyum. Berjongkok. Lalu kubiarkan jemari kecilnya memegang benang. Dengan tubuhnya tetap berada di antara kedua lenganku.

"Kau senang Nak?" bisikku.

Ia mengangguk sambil tetap menatap layang-layang yang mengangkasa dengan indahnya. Di tengah hembusan angin tiada jeda.

Lalu tiba-tiba bumi berguncang. Aku terjengkang. Ia terlepas dari rengkuhanku. Angin berhembus seperti kesetanan. Layang-layang itu lepas kendali.

Aku hanya bisa terbeliak melihatnya ikut melayang-layang dengan masih menggenggam benang. Aku ingin berteriak tapi lidahku kelu.

"Aku bertualang bersama angin dulu Papa!" teriaknya kencang sebelum menghilang. "Sampai ketemu nanti! Aku sayang Papa!"

Cahaya terang pun menghantam mataku.

_____

"Bangun Pa. Sudah hampir jam 6."

Aku mengerjapkan mata. Cahaya terang itu masih terasa menusuk. Ketika pandanganku kembali baru kusadari bahwa cahaya terang itu berasal dari pijar lampu kamar. Aku terhenyak.

Istriku mematikan lampu dan membuka tirai jendela. Dalam keremangan cahaya pagi akhir Agustus aku mengingat mimpiku yang baru saja berlalu.

Tentang layang-layang. Tentang seraut wajah mungil yang serupa denganku puluhan tahun lalu. Tentang seruan dan senyumnya yang menghangatkan hati. Dan aku tak hendak melupakan mimpi itu selamanya.

"Kita nanti jadi ke makam kan?"

Suara istriku menggema lagi. Menusuk rasaku yang masih tercecer di kurun waktu 9 tahun. Ia masih menatapku. Aku mengangguk tanpa suara.

Ia tetap menatapku. Seolah bertanya. Aku menghindarinya. Masuk ke kamar mandi. Seiring dengan aliran air yang mengucur deras dari atas kepala kubuang airmataku. Hingga luruh semua. Menyisakan ruang kosong dalam diriku.

Aku tak hendak menjawabnya. Biarlah ia tahu melalui coretan ini.

Bahwa seutuhnya aku bisa menerima takdir. Bahwa aku tak pernah menyalahkan ia atau siapa pun atas kehilangan ini. Bahwa aku masih membiarkan putra kecilku bebas bermain di ruang kosong itu. Sehingga aku masih bisa bebas menengoknya kapan pun aku merasa rindu. Kapan pun aku mau.

Di dalam mimpiku.

____________

(Jakarta.31.08.2016.
-Untuk bintang kecilku Gabriel Rigel.
Genap 9 tahun terlahir dan dipanggil pulang oleh Tuhan-.
Chris Darmoatmojo)


2 komentar:

  1. Wah, sangat menyentuh mas.
    Percaya Gabriel sudah jadi malaikat Tuhan di sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tempat terbaiknya memang di atas sana. Trm kasih apresiasinya. Salam.

      Hapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........