Rabu, 09 Desember 2015

Ketika Harus "Berpisah"




Saya sama sekali bukan oknum penasehat perkawinan. Hanya seorang suami dan papa yang terus berusaha bahu-membahu bertiga bersama keluarga untuk menciptakan dan menikmati kebahagiaan. Terkadang berhasil tapi juga terkadang (bisa dibilang sedikit) gagal. Terkadang bisa berjalan di jalur yang semestinya tapi pernah juga terpeleset di dalamnya. Anggap saja normal karena katanya iklan sih life is never flat. Perlu kesabaran & hati yang besar untuk menerima fase kegagalan itu & membaliknya jadi sesuatu yang bisa diperbaiki & dimaafkan.

"Perpisahan" pasti akan menjadi hal yang sangat menyakitkan dalam sebuah keluarga. Apalagi kalau pemicunya adalah ada yang bermain api dengan pihak ke-3. Dari coba-coba akhirnya menjadi ketagihan, kecanduan & keterusan. Sungguh berbahaya! Ditambah lagi bila pada saat melakukannya sudah ndak ingat lagi bahwa ada anak-anak yang pasti akan jadi korbannya. Pada usia remaja pula ketika anak-anak ini sudah cukup mengerti hitam, putih & abu-abu.

Sia-sia bila hanya salah 1 pihak saja yang mengupayakan utuhnya pernikahan sementara pihak yang satunya berpendapat: "derita lu!" & tetap terbang menjemput "gendak'annya" yang baru. Ndak lagi mau peduli nasib anak-anak yang ditinggalkan. Ini bukan masalah siapa yang salah karena pastinya kedua pihak pasti ndak juga 100% ndak berdosa. Hanya saja kalau mau main api mbok yao ingat sama anak-anak.

Anak-anak tak pernah bisa memilih ingin orangtua yang seperti apa. Siapapun yang berproses membuatnya ada & melahirkannya itulah orangtuanya. Tentunya kita semua pernah menjadi anak-anak dengan segala ketidakpuasan terhadap orangtuanya. Seandainya sedikit saja kita mau menempatkan diri sebagai anak-anak itu tentunya kalau kita masih berpikiran normal maka kita pasti akan lebih bisa menahan diri agar ndak menyakiti darah daging kita sendiri.

Sedih sekali melihat bahwa ada anak-anak yang begitu merindukan salah satu orangtuanya, ia masih ada tapi sama sekali ndak terjangkau karena sengaja menjauhkan diri & melepaskan tanggung jawab. Secara sadar menyerahkan begitu saja pengasuhan anak-anak pada pihak (eks) pasangan & sama sekali ndak mau ikut campur lagi dengan alasan anak-anak sudah memilih untuk ikut siapa. Anak-anak remaja tentunya tidak buta hati & tahu siapa yang pantas untuk dijadikan patron. Tapi bukan berarti yang "tidak dipilih untuk diikuti" lantas harus lepas tanggung jawab begitu saja.

"Sungguh absurd," itu kata Nduk Ayu saya. "Sejahat-jahatnya Mama dulu sama aku tapi masih bisa mikir yang terbaik buat aku kelak. Masih ingat aku. Lah ini??"

Saya tahu tak baik mengadili orang lain di saat hidup masih juga kerap tak berjalan sempurna. Tapi setidaknya bila ingin main api ingatlah pada anak-anak. Posisikan diri menjadi anak-anak itu. Bagaimana melihat salah satu orangtuanya ndak lagi sekedar terpeleset tapi sudah terjeblos sedemikian dalam & ndak berniat untuk keluar lagi.

Hukum & aturan agama buat saya ndak pernah salah. Manusia sudah dianugerahi otak bervolume cukup besar untuk dipakai berpikir. Jadi manusianya sendiri yang harus berpikir dalam mengimplementasikan hukum & aturan itu. Ketika kata "dosa" sudah jadi hal yang absurd & ndak lagi bisa menakuti apa salahnya mengalihkan pemikiran pada anak-anak yang senyatanya ada di depan mata?

Ada bagian yang terlanjur "rusak" dalam diri anak-anak yang sudah disakiti sedemikan rupa. Pernahkah membayangkan jadi anak-anak yang tertolak oleh salah satu orangtuanya sendiri? Penahkah membayangkan jadi anak-anak yang diminta dengan tegas untuk ndak lagi mengganggu kehidupan baru salah satu orangtua itu? Pasti ada "lubang besar" dalam hati anak-anak ini yang entah akan tertutup kapan & dengan cara apa. Yang pasti akan bisa dianggap selesai dengan forgive & forget tapi apakah akan semudah membalikkan telapak tangan?

Saya hanya berharap Gusti ndak sare & selalu memberi anak-anak ini kekuatan & ketegaran yang terbarukan setiap saatnya.

Berkah Dalem..

__________

(JP.09.12.2015.Chris D.a)

8 komentar:

  1. Kata gendhak'an...entahlah kenapa selalu terkonotasi negatif di benak saya. Apalagi jika dilakukan oleh yang sudah terikat.

    Semoga anak-anak yang menjadi korban punya jiwa cukup besar untuk kelak memaafkan apapun yang dilakukan salah satu orang tua yang menolak mereka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sy jg ndak bermaksud mengubah konotasi kt gendak'an mjd positif mba.. :)
      Terima ksh apresiasinya :)

      Hapus
  2. been there, done that, mas...

    japri ya...
    saya mau ngomong lewat email aja deh...

    BalasHapus
  3. Baca ini seperti sedang bercermin Pak, hehe.. Salam :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah mba sy sampai ndak bs komen :(
      Terima ksh..

      Hapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........