Minggu, 07 Mei 2017

(T'sC) Kebo N(y)usu Gudel, Kenapa Tidak?



Mengikuti sebuah peristiwa dimana ada seorang ibu cantik berpenampilan terhormat & pendidikannya (sangat) tinggi, tapi kurang bisa menjaga perilaku & tutur katanya, mendadak aku seperti bercermin. Kecantikanku tentu saja di bawah ia (jauh), penampilanku juga nda bisa disetarakan dengan ia (jomplang), pendidikan terakhirku juga ndak setinggi ia (beda gelar), tapi itulah perilaku & tutur kataku dulu. Soal kata "dulu" & "sekarang" sepertinya nda terlalu penting. Perubahan hanya soal waktu. Jelasnya, aku pernah berada "di sana". Hampir menjadi perempuan "kerak neraka" (pinjam istilah dari Jeng Ayu pemilik blog fiksi super keren di sebelah).


Kalau ibu "yang itu" peluru & mitraliurnya nyembur ke mana-mana secara membabi-buta, ibu "yang satu ini" (yang menulis artikel ini) sasarannya adalah anak sendiri. Tapi hasilnya serupa. Anak (& suami) jugalah yang jadi korban ikut menanggung derita. Hingga pada akhirnya aku sampai pada suatu titik, aku sudah nda berhak menyakiti anak & suamiku lagi. Aku punya anak & suami yang sangat hebat. Mampu hidup bertahun-tahun berhadapan dengan orang labil seperti aku.

Kalau suamiku aku maklum. Ia sudah kadung janji untuk setia padaku, anakku & pernikahan kami sampai akhir hayatnya. Tapi anakku?

Anakku nda bisa milih mau jadi anak siapa. Nda bisa milih tempat jatuhnya akan punya orang tua seperti apa. Ndilalah ia punya ibu seperti aku, yang bengis, ringan tangan, nda pernah puas, terlalu banyak menuntut & sederet perilaku serta mulut busuk lainnya. Bertahun-tahun aku membuatnya babak-belur lahir batin sejak aku berpisah dengan suami pertamaku (sekarang sudah almarhum) hingga aku menikah lagi dengan suami keduaku (suamiku hingga detik ini). Ketika aku "dipaksa" untuk menyadari hal itu, aku tahu bahwa ribuan tahun nda akan pernah cukup untuk menebus kesalahanku pada anakku.

Anakku diajari papanya (papa barunya) untuk memahami kenapa aku "harus" melakukan itu, sekaligus juga diajari bahwa itu bukanlah perilaku yang benar. Ia juga diajari untuk mengerti bahwa aku melakukannya karena aku sayang padanya, sekaligus diberi pemahaman bahwa itu adalah cara menyayangi yang benar-benar salah. Habis-habisan suamiku memperbaiki kerusakan yang sudah kutimbulkan. Satu lagi yang diajarkan suamiku padanya, kemauan & kemampuan untuk memaafkan & mengampuniku. Seperti apa pun bentukku, calon penghuni Surga ataukah kerak neraka, aku tetap mama yang melahirkannya. Itu yang selalu ditekankan suamiku pada anakku.

Lalu "kebo n(y)usu gudel" itu apa? Kebo adalah kerbau, n(y)usu adalah menyusu (pada ....), & gudel adalah anak kerbau. Itu peribahasa Jawa yang menggambarkan "seseorang belajar pada anaknya atau orang yang lebih muda atau bawahannya atau yang dianggap tidak lebih pintar & berpengalaman". Itu yang akhirnya kulakukan. Belajar pada anak & suamiku (usia suamiku lebih muda dari aku) tentang kesabaran, memaafkan, mengampuni, menjaga tutur kata & perilaku. Suamiku orang yang sangat sopan & halus tutur katanya. Bayangkan saja seorang Arjuna bisa bertahan hidup bertahun-tahun bersama Sarpakenaka. Nyaris suatu "hil yang mustahal". But he did it! Begitu pula anakku. Hingga detik ini masih bersedia mengakuiku sebagai mamanya, memaafkanku, mengampuniku, masih menyayangiku, masih bisa mengungkapkan kerinduannya padaku, masih punya harapan ingin bertemu secepatnya (anakku saat ini bekerja di luar negeri sekaligus akan melanjutkan pendidikannya BUKAN atas tanggungan orang tua, sudah sekian bulan kami hanya bisa berkomunikasi melalui pesan tertulis & skype. Aku merindukannya? SANGAT!).

Semua ini nyaris sama dengan "ibu itu", masih punya suami sangat sabar, yang mampu memberi pengertian pada anak-anaknya bahwa mereka harus tetap menghormati & menghargai si ibu apapun kondisinya. Anak-anaknya pun dengan arif & sangat dewasa berusaha memahami tingkah laku & tutur kata ibunya tanpa membela ibunya secara membabi-buta. Percayalah, anak-anak & suami itu seikhlas apapun pasti juga terganggu, tersiksa & menanggung derita (minimal ikut merasa & menanggung malu). Aku hanya khawatir kalau semua itu malah menjadikan remnya makin slong & justru akan menghancurkan dirinya sendiri. Tapi kesadaran itu datangnya tidak dari mana-mana melainkan dari diri sendiri.

Aku juga nda sendiri melakukan perbaikan. Aku dibantu psikolog yang merupakan teman sekolah suamiku. Tuhan mengulurkan tangannya dengan berbagai cara, melalui suami, anak, orang-orang terdekat, kenalan, orang lain. Kenapa nda mulai membuka hati & melakukan "kebo n(y)usu gudel"? Aku nda malu membuka aibku ini. Kalau ada kemungkinan bisa membantu orang lain dengan masalah yang serupa kenapa tidak? Kalaupun nda sejauh itu pengaruhnya sedikitnya bisa jadi pengingat buat diriku sendiri. Sehingga aku selalu ingat untuk mengucap syukur pada Tuhan karena sudah memberi anugerah terindah padaku.

Nduk Ayu Putri & Agan Papa yang ganteng kalianlah anugerah itu. Terima kasih kalian masih mau tetap bersamaku hingga detik ini.


(Tiwi'sCorner.7Mei2017)

2 komentar:

  1. Pada satu titik, anak bisa lebih dewasa menyikapi hidup dan kehidupan.
    Aku juga bukan ibu yang baik, tapi alhamdulillah aku punya anak yang luar biasa.
    Nggak cuma bisa menjalani hidupnya sendiri dengan baik, tapi juga bisa menopang ibunya, waktu ibunya sedang tidak bisa berfungsi dengan baik.
    Walaupun mungkin dalam hati dia nangis darah.

    Anak-anak memang karunia yang luar biasa.
    Salut untuk Puput.
    Salam untuk Puput dan Mas Al ya Mbak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mama si suka lebay Tante akakakakkakak....... Yg penting si buat emput Mama skrng udh jd the best. Emput tau prosesnya. Gak mudah tp Mama mo lakonin & bs. Itu udh ajaib bngt bwt emput sm Papa.
      Salam manis kek lolipop bwt tante Dani........

      Hapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........