Prolog
Ia
menyodorkan padaku sepiring kecil sambal jeruk buatannya. Aku menatap keduanya
bergantian. Ia dan sambal jeruk itu. Betapa aku mengharapkan semuanya itu
bukanlah sekadar mimpi di siang bolong...
_____
1.
Sambal jeruk itu hanya sambal jeruk
biasa. Ibuku pun piawai membuatnya. Sambal yang terbuat dari tumisan tomat,
bawang putih, bawang merah, dan seonggok cabe setan. Semuanya diulek bersama
terasi bakar dan sedikit gula jawa, dan terakhir dikucuri air jeruk lemon.
Tapi buatan Nina selalu lain di
lidahku. Selalu lebih pas. Pedasnya, gurihnya, asamnya, manisnya. Paduannya
sungguh sempurna. Jauh melebihi sambal jeruk buatan Ibu.
Jangan ditanyakan bagaimana rasanya sambal
jeruk buatan Olla. Sulit membedakan antara sambal jeruknya dengan racun
serangga. Aku sendiri belum pernah mencicipi racun serangga, tapi kupikir
rasanya sama dan sebangun dengan sambal jeruk buatan Olla.
Lalu aku akan menikmati sambal jeruk
buatan Nina. Setiap hari Kamis. Saat ia punya waktu membantu ibuku memasak. Dan
aku akan melupakan semua masalah yang kupunya. Melupakan semua isi dunia yang
harusnya kunikmati di luar sana. Melupakan akibat yang pasti akan muncul
setelah aku menikmati sambal jeruk itu.
_____
2.
Ia – Nina – adalah gadis mungil manis
yang tinggal hanya berselang 5 rumah dari rumahku. Olla – adikku – dan Nina
bagaikan anak kembar. Selain berbagi hari lahir yang sama, mereka juga sahabat
yang seolah tak terpisahkan. Di situ ada Nina, di situ ada Olla. Demikian juga
sebaliknya. Mereka benar-benar tumbuh bersama dari bayi hingga remaja.
Aku sendiri tak tahu sejak kapan aku
punya perhatian lebih padanya. Tiba-tiba saja aku sudah berasa bahwa
kehadirannya istimewa di hatiku. Bahwa senyumnya mampu mencerahkan hariku yang
terkadang menyebalkan. Bahwa sambal jeruknya adalah sesuatu yang istimewa dan
berasa tak tergantikan dalam hidupku.
Tapi semuanya hancur ketika suatu
ketika kulihat wajah cerah Mas Dennis – abangku – yang bersinar seperti bulan
purnama penuh. Aku tahu itu adalah masalah gadis. Dan yang tak pernah kupikir,
ternyata gadis itu adalah Nina.
Berhari-hari aku menyesali
kebodohanku. Bahkan berminggu-minggu. Tentu saja aku tak pernah menyatakan rasa
sukaku pada Nina. Aku hanya berharap dia mengerti sinyal-sinyal yang kupancarkan,
tanpa pernah membayangkan bahwa sesungguhnya sebuah ungkapan cinta itu perlu
dikatakan.
Dan aku memang terlambat. Mas Dennis
jauh lebih tegas daripada aku. Aku kehilangan Nina dan sambal jeruknya. Sambal
jeruk itu masih ada setiap hari Kamis. Tapi aku yang tak lagi ingin pulang
cepat pada Kamis siang.
Aku tak lagi bisa merasakan sedapnya
sambal jeruk buatan Nina. Yang ada justru hatiku yang retak menganga berasa
seperti dikucuri berliter-liter air perasan jeruk lemon setiap kali aku
mengingat sambal jeruk itu. Perihnya tak terkira.
Ketika ada kesempatan untuk pergi,
maka aku pun pergi. Menjemput masa depan yang entah bagaimana harus kulalui
tanpa Nina.
_____
3.
Musim dingin di Darmstadt akhirnya
harus kutinggalkan untuk pulang kembali ke Indonesia. Sejujurnya aku merindukan
panasnya Jakarta dan segala debu yang menyelimutinya. Tapi aku kembali
merasakan perih itu walau tak senyata 2,5 tahun yang lalu.
Kutangkap senyum cerah Olla ketika
menemukan aku di antara ratusan orang yang keluar dari gate. Ia segera berlari dan menghadiahiku pelukan hangat yang
sangat erat. Aku sampai susah bernapas karenanya. Ia baru melepaskan pelukannya
setelah sebuah kalimat protes keluar dari mulutku, “Seneng kalau masmu ini mati
kecekik?”
Ia tertawa sambil mencium kedua
pipiku. Kupeluk Olla dengan ringan. Aku merindukannya. Sangat. Sama besarnya
dengan kerinduanku pada Bapak, Ibu, Mas Dennis, dan... Nina. Sesaat kemudian
aku terhenyak.
Detik ini aku pulang ke Indonesia
karena 2 hal. Pertama, studi S2-ku sudah selesai. Kedua, aku sepertinya memang
harus menghadiri pernikahan Mas Dennis. Tak perlu kutanyakan siapa mempelai
perempuannya. Hanya akan membuat hatiku berasa sakit lagi.
Mobil yang dikemudikan sendiri oleh Olla
membelah jalanan dari bandara menuju ke rumah kami. Sepanjang perjalanan ia
berceloteh dan seperti biasa aku harus berperan sebagai pendengar yang
baik. Entah bagaimana awalannya,
tiba-tiba saja ia sudah mengajukan pertanyaan ini, “Jadi kapan Mas Serva mau
nyusul Mas Dennis?”
Aku tahu arah pertanyaannya, tapi
aku berlagak bodoh. “Nyusul ke mana? Memangnya Mas Dennis mau ke mana?”
Olla menatapku sekilas. “Married, Mas, married...“
“Oh...,” aku mengangkat bahu. “Kalau
kamu mau duluan, ya duluanlah...“
Olla membelokkan mobil ke jalan yang
menuju ke rumah kami. Ketika melewati rumah Nina, entah kenapa rasa nyeri itu
berasa menggigit hatiku lagi. Maka aku pun buru-buru mengalihkan tatapanku.
“Mas pasti kaget kalau tahu perkembangan
terakhir,” ucapan Olla membuat isi otakku berasa terkumpul kembali.
“Ada apa?” tanyaku, terdengar dungu.
“Nanti juga Mas akan tahu,” Olla
menghentikan mobil di carport.
Segera saja sambutan meriah dari
seluruh keluarga menyambut kepulanganku.
_____
4.
Aku senyatanya tak tahu apa yang
harus kulakukan ketika melihat Ibu menangis dan Bapak berkali-kali menghela
napas berat. Olla tampak menunduk menatap karpet. Tapi jelas terlihat wajahnya
sangat suram. Sebetulnya aku ingin tertawa keras, tapi apakah pantas ketika
keluargaku harus berjuang membersihkan muka yang terlanjur tercoreng?
Mas Dennis betul akan menikah, tapi
bukan dengan Nina. Nina-ku. Calon pengantin perempuannya adalah gadis lain.
Hm... bukan gadis lagi tepatnya, karena kondisinya sekarang sedang hamil 4
bulan. Anak yang berasal dari Mas Dennis.
Besok pagi kami akan terbang ke
Palembang. Menghadiri pernikahan Mas Dennis yang akan diadakan di sana besok
lusa, di tempat pengantin perempuan. Pantas bila wajah Bapak dan Ibu sama-sama keruh.
Tak terbayang malu yang harus ditanggung terhadap keluarga Nina.
Dan Nina, bagaimana kabarnya?
Tanpa pikir panjang aku pun berdiri
dan melangkah pergi.
_____
5.
Rumah itu masih sama ketika terakhir
kutinggalkan untuk berpamitan sebelum aku pergi. Keheningan dan keteduhannya
nyaris membuai pikiranku masuk ke alam lamunan kalau saja tidak muncul
seseorang yang tentunya mendengar bel yang terlanjur kutekan. Lalu kami
bertatapan.
Perempuan setengah baya itu menutup
mulutnya ketika menatapku. Matanya yang dinaungi bulu-bulu lentik membuatku
seketika tersadar, dari mana Nina memperoleh mata indahnya.
“Selamat malam, Tante... Apa kabar?”
ucapku lirih.
Ia menjawab pertanyaanku dengan
meraihku dan membawaku ke dalam pelukannya. Aku pun membalas pelukan itu.
“Serva...,” bisiknya. “Kamu pulang?
Kapan?”
“Baru siang ini tadi, Tante. Apa
kabar?”
Tante Tien – ibu Nina –
membentangkan kedua lengannya sambil berusaha untuk tetap mengembangkan senyum
di bibirnya.
“Seperti yang kamu lihat,” jawabnya
dengan mata mengaca.
“Saya baru tahu apa yang terjadi,”
desahku. “Saya ikut minta maaf atas semuanya.”
“Tidak, Serva,” Tante Tien
menggeleng. “Bukan salahmu. Kalau memang tidak jodoh mau dibilang apa?”
Aku kehilangan kata.
“Nina pasti senang melihatmu.
Sebentar Tante panggil dia dulu ya?”
Aku hanya bisa mengangguk. Dengan
hati berdebar. Dengan seluruh benda di sekitarku terlihat seperti mengeluarkan
percikan-percikan cahaya. Tapi ketika aku menyadari apa yang sudah terjadi
antara ia dan Mas Dennis, mendadak semua cahaya itu padam.
“Mas Serva?”
Aku hanya terpaku menatapnya. Ia
sama sekali tak berubah. Wajah tenang dan teduhnya. Cahaya di matanya. Aroma
senyumnya. Semuanya. Tidak berubah walau setitik pun. Setidaknya tidak ada yang
berubah di mataku. Seperti cintaku yang tertinggal pada keseluruhan dirinya.
_____
6.
“Aku sempat bersedih. Tenggelam.
Atau apalah namanya,” ucapnya halus sambil memotong-motong tomat, bawang merah,
dan bawang putih.
Aku menatapnya.
“Tapi semuanya membuatku jadi berpikir
panjang,” lanjutnya sambil membersihkan beberapa cabe setan dari batangnya.
“Jangan banyak-banyak,” cegahku
ketika ia masih akan menambah jumlah cabe itu.
Kini ia menatapku. Tersenyum.
“Terlalu lama di luar negeri bikin orang jadi kurang doyan pedas? Begitu?”
Aku tersenyum lebar.
Nina pun mulai menumis semua bahan
yang disiapkannya sambil melanjutkan ucapannya, “Aku jadi berpikir, bagaimana
kalau aku sudah terlanjur menikah dengan Mas Dennis, lalu perempuan itu baru
muncul? Dengan kondisi hamil seperti itu?”
Aku masih menatapnya. Berdiam diri.
Menikmati alunan suaranya yang begitu kurindukan.
“Mungkin memang bukan jodohku,” ia
menatapku sekilas. “Walaupun tak ada yang namanya sedih akan cepat berlalu
ketika harus berhadapan dengan rencana pernikahan yang gagal. Rencana
pernikahan yang sudah di depan mata.”
Nina menghela napas panjang.
Bertepatan dengan aku melakukan hal yang sama. Dengan cekatan ia kemudian
mengangkat tumisannya dari penggorengan dan meletakkannya di atas cobek setelah
meniriskannya sebentar.
Dan aku tetap mengamatinya. Ketika
ia menyelipkan sebelah uraian rambutnya ke belakang telinga, lalu mulai
mengulek semuanya yang harus diulek. Wajahnya tampak serius. Membuat debar di
dalam dadaku makin meliar nyaris tak terkendali.
Ketika semuanya selesai, ia meraih
sebuah piring kecil dan memindahkan sambal yang baru saja dibuatnya. Terakhir,
ia mengambil sebuah jeruk lemon dari dalam kulkas, mengiris sebagian, kemudian
mengucurkan air perasannya ke atas sambal.
Ia menyodorkan padaku sepiring kecil
sambal jeruk buatannya. Aku menatap keduanya bergantian. Ia dan sambal jeruk
itu. Betapa aku mengharapkan semuanya itu bukanlah sekadar mimpi di siang
bolong...
“Makan dulu, Mas. Mumpung goreng
tahu-tempe dan selada rebusnya masih anget,” ucapnya manis.
_____
Epilog
Ia
menyodorkan padaku sepiring kecil sambal jeruk buatannya. Aku menatap keduanya
bergantian. Ia dan sambal jeruk itu. Entah sudah terulang berapa kali adegan
yang sama selama enam bulan ini.
Walaupun semua hariku kini dipenuhi dengan sosoknya dan sambal
jeruk buatannya itu, aku tak pernah bosan. Tak akan pernah. Mungkin memang ia
bukan ditakdirkan untuk jadi jodoh Mas Dennis, tapi jodohku.
Perlu waktu 2 tahun untuk saling meyakinkan hati bahwa
mungkin kami memang ada untuk saling melengkapi dan bergandengan tangan.
Rentang waktu yang diselingi acara pernikahan Olla yang meminta untuk
melangkahiku karena ia sudah mantap dengan Yuke-nya, setahun setelah pernikahan
Mas Dennis, dan pernikahanku sendiri bersama Nina setahun kemudian, enam bulan
yang lalu.
Kali ini ia menatapku. Dengan pendar-pendar cahaya
bintang memenuhi matanya. Pendar milikku. Sama sekali bukan milik Mas Dennis.
__________
Pantassss.... ada rasa beda... rupanya kolab,... salam yaaaaa...
BalasHapusTrm kasih apresiasinya mba Maria. Kl ndak kolab ndak bakal seperti itu hslnya. Pasti berantakan :D
HapusKalo nggak ada yang kasih link, aku nggak tau kalo tayang juga di 'sono'...
BalasHapusI'm so sorry. Hrsnya mmng kasih tau dl ya?
HapusAaaawwwhhhh! Baguuuussss! Btw pa Chris masih bisa makan sambel pake cabe setan ya? (gagal fokus qiqiqiqiqiq)
BalasHapusHaha.. sdh ndak bisa Mba.. Mba Nita sdh sehat? Salam u/ Quin & juragan ya? :-)
Hapusfiksi yang menarik. seperti komentar saya di media lain. Oh ya Pak Chris, blognya saya masukan ke daftar blog teman saya ya?
BalasHapusTrm kasih atas apresiasinya Mba.. Silakan menautkan blog kami. Sy jg br sj menautkan blog Anda diblog kami.
HapusSalam..