Selasa, 19 Desember 2017

(T’sC) Sejujurnya Aku Belum Siap



            Sudah lama aku ingin menuliskan hal ini. Sekedar catatan kecil saja & pengakuan untuk diriku.
            Setiap kali pak Chris harus dirawat di RS & masuk ICU, aku seolah dipaksa untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Kemungkinan terbaiknya beliau pulih & kemungkinan terburuknya adalah sebaliknya yaitu aku akan kehilangan beliau. Berkali2 beliau bisa bertahan & lolos uji, berkali2 pula aku harus kejebur lagi menghadapi situasi yg sama. Sudah nda terhitung lagi berapa kali beliau harus mampir ke “sana”. Sport jantung? Selalu. Apalagi ketika aku harus menghadapi situasi itu sendirian karena putriku berada jauh di benua lain.
            Terakhir kalinya beberapa bulan lalu saat beliau kena pneumonia karena “flu yg kebablasan” (sederhananya seperti itu karena faktor imunitas tubuhnya sangat rendah) hingga harus masuk ICU lagi sekitar 10 hari. Waktu itu terjadi putriku sudah setahun lebih berada ribuan kilometer jaraknya dari rumah. Aku berada pada titik harapan paling tipis karena dokter dengan jujur sudah mengatakan hanya bisa mengusahakan yg terbaik sesuai prosedur. Selebihnya ada di tangan Tuhan karena kondisinya sudah sangat kritis.
            Ketika aku menghubungi putriku & menceritakan kondisi papanya, ia bilang sambil menangis bahwa ia sudah ikhlas bila papanya harus dipanggil Tuhan. Ia paham sekali perjuangan papanya selama ini. Keikhlasan itu sungguh2 menohokku karena jujur aku sama sekali belum siap ditinggalkan pak Chris.
            Aku nda tahu apakah ketidak ikhlasanku mempengaruhi pak Chris. Jelasnya aku nda bisa berkomunikasi dengannya karena aku nda boleh masuk ke ICU. Aku hanya bisa minta pada Tuhan, jangan sekarang. Puji Tuhan permintaanku dikabulkan. Perlahan kondisi pak Chris membaik & bisa melampaui masa kritis. Seorang sahabat yg berprofesi sebagai dokter sambil bercanda bilang “Arek iku nyawane satus.” (=anak itu nyawanya seratus) Mungkin beliau benar. Jadi hingga detik ini aku masih juga terhindar dari menjadi janda untuk kedua kalinya.
            Belasan tahun lalu aku pernah berada dalam situasi terburuk sebuah pernikahan. Akhirnya mudah ditebak. Muaranya adalah perpisahan & aku resmi menyandang predikat sebagai janda 1 anak. Tapi pada saat itu aku sudah siap karena itu adalah pilihanku. Daripada menjalani pernikahan yg seperti neraka aku lebih memilih untuk nda lagi punya pasangan. Secara finansial aku mampu menghidupi putri tunggalku. Saat itu aku benar-benar siap untuk menjanda meskipun tahu bahwa aku juga nda akan menjalani kehidupan dengan lebih mudah. Tapi pendapat yg kukuh kupegang untuk nda punya pasangan lagi runtuh setelah aku bertemu pak Chris.
            Lalu kesiapan itu untuk saat ini? Aku terpaksa menggeleng. Meskipun banyak yg kurasa sudah selesai dalam hidupku, tapi aku merasa nda akan pernah siap untuk menjanda lagi. Hal ini bukannya nda pernah jadi bahan pembicaraan antara aku & pak Chris. Hasilnya tetap sama, aku nda pernah bisa merasa siap ditinggalkan olehnya.
            Terkadang aku jadi berpikir bahwa aku sudah sedemikian membebaninya dengan ketidaksiapanku ini. Sekaligus memaksanya untuk tetap berjuang terus mengalahkan kondisinya. Tapi aku tetap menolak untuk bersiap kehilangan beliau walaupun aku tahu beliau sudah sangat lelah. Egois sekali bukan?
            Aku pernah bicara soal ini dengan putriku ketika ia libur & pulang ke sini beberapa bulan lalu, sekeluarnya papanya dari RS karena pneumonia itu. Tanggapannya ringan2 saja. “Papa juga belum mau ninggalin mama kok.” Ketika aku konfirmasikan kepada yg bersangkutan beliau (pak Chris) malah ketawa. “Kalau mama siap menjanda malah aku nda lagi punya alasan untuk berjuang hidup.” Jleb sekali rasanya di hatiku.   Lalu beliau menambahkan “sudahlah jalani saja yg masih bisa dijalani.” Sampai kapan? Aku  nda tahu, sama sekali nda punya jawaban.
            Aku pun pernah ngobrol soal ini dengan mba Tien sahabatku. Beliau pernah mengalami situasi yg membuatnya terpukul, ketika ditinggalkan tiba-tiba suami tercinta karena serangan jantung. Benar2 dalam posisi yg sama sekali nda siap. Tapi beliau survive sampai sekarang. Yg beliau katakan “pasti kamu bisa Wi.” Sampai di sini aku nda tahu harus bicara atau berpikir apa.
            Kehilangan pak Chris? Rasa2nya jauh sekali dari pikiranku. Membayangkannya saja sudah membuatku merasa sangat gamang. Beliau lebih dari separuh jiwa & kehidupanku. Mungkin aku terlalu terikat pada beliau tapi begitulah sejujurnya. Beliau lebih dari sekedar suami, pendamping, teman hidup, sahabat, soulmate, lawan berdebat, musuh saat bertengkar & ayah sambung bagi putriku. Jauh melebihi itu.
            Yang  bisa kulakukan sekarang cuma memohon yg terbaik pada Tuhan, menjaga & merawat pak Chris, memberinya kegembiraan. Soal kesiapan itu, untuk saat ini aku benar-benar masih belum siap. Kalaupun suatu saat takdir itu menghampiriku aku harap Tuhan berbaik hati melalui tangan-tangan para sahabat sehingga tidak akan membiarkan aku sendirian untuk menghadapinya.
            Saat ini jalani saja apa yg masih bisa dijalani bersama beliau. Bersyukur atas setiap waktu yg masih bisa dilalui bersama. Hanya itu yg bisa kulakukan.
            Menyiapkan diri? Entah kapan aku sanggup memulai.


(Tiwi’sCorner.19Desember2017)

2 komentar:

  1. Doaku buat Mbak Tiwi sekeluarga, terutama Mas Al...
    Salam buat Mas Al, ya Mbak...

    BalasHapus
  2. Semangat Bu, semoga Tuhan memberikan kekuatan yang lebih lagi dan lagi.
    Semoga lekas pulih untuk Pak Chris.
    Salam sayang untuk Mput :)

    BalasHapus

Komen boleh aja, boleh banget sih! Tapi yang sopan yah.........