Kertas putih yang
sudah tercoret-moret tidak keruan susah untuk kembali lagi menjadi putih bersih
seperti semula. Walau mencoretnya dengan pensil sekalipun masih akan ada
bekas-bekas garis samar yang tersisa ketika coretan itu dihapus. Apalagi bila
mencoretnya menggunakan tinta, spidol, cat yang dominan berwarna gelap. Demikian pula dengan putri
saya. Ketika kecil selama beberapa tahun mengalami verbal & physical abuse
dari mamanya. Benar-benar masa gelap yang susah untuk dihapuskan dari kertas
putih kehidupannya.
Salah satu sifat yang
setengah mati saya ingin menguranginya adalah sifat introvertnya. Pendiam,
menarik diri, sedikit apatis, cukup susah membangun komunikasi dengan orang
lain apalagi yang baru dikenalnya. Belakangan ini dia sudah mulai bisa
berkomunikasi dengan baik. Membangun banyak curhat melalui tulisan-tulisannya.
Menambah teman baru. Berusaha membuka diri. Dan masih banyak lagi.
Pada awalnya dia
selalu berpikiran bahwa mengenal makin banyak orang itu memperbesar potensi
menambah konflik. Memang benar. Hanya saja seseorang juga perlu belajar untuk
mengelola konflik itu menjadi sesuatu yang membangun. Yang sungguh-sungguh
lolos dari pemikiran saya adalah bahwa dia sungguh-sungguh sudah lelah
menghadapi konflik.
Ketika dia bertemu
dengan itu maka dia akan diam. Berusaha mengurangi sakit hatinya sendiri dengan
perlahan menjauh. Suatu hal besar bisa saja dihadapinya dengan biasa. Ndableg
istilahnya. Sebaliknya, suatu hal kecil bisa juga dihadapinya dengan potensi
down yang besar. Apalagi bila hal itu dirasanya bisa menimbulkan sakit hati
ataupun konflik pada orang lain. Sekali lagi sebuah ketidaknormalan kutub yang
entah akan terurai kapan dan bagaimana.
Pada dasarnya dia tak
pernah mau menyakiti orang lain karena dia sendiri tahu bagaimana rasanya
disakiti. Bila sebuah jalur komunikasi saja sudah bisa berpotensi menimbulkan
konflik, makin teguh dia berpegang pada pendapatnya bahwa makin banyak mengenal
orang lain maka makin banyak pula potensi konflik yang bisa ditimbulkan. Bila
sebuah hal kecil ataupun besar tanpa sengaja sudah menyentuh bekas luka yang
tak pernah bisa hilang tadi, maka dia akan kembali ke rumah siputnya. Apalagi
bila dia merasa bahwa dialah si penyebab (potensi) konflik (padahal sebetulnya
bukan).
Tak adil bila
menuntut orang lain untuk memahami dia sepenuhnya. Ketika dia belajar untuk
memahami orang lain dan justru menemui benturan maka dia akan kembali
mengamankan diri dalam ruangan diamnya. Terlalu takut untuk bergerak lagi
karena beranggapan bahwa semua yang akan dilakukannya adalah salah.
Takut salah. Itu
adalah bekas dari lukisan cat hitam yang pernah mewarnai kertas putih
kehidupannya. Sedikit demi sedikit saya berusaha menghapus bekas itu.
Kadang-kadang berhasil dan dia berdiri tegak dalam rasa percaya diri bahwa dia
bisa berbuat benar walaupun mengalami
benturan yang cukup hebat. Tapi di lain waktu
sentuhan kecil saja bisa memunculkan kembali trauma takut salah itu. Sekaligus
ada perasaan bahwa dia
tidak diterima apa adanya oleh
orang lain. Selalu harus ada alasan untuk
melakukan sesuatu. Tidak ada makan siang yang gratis.
Sudah tak akan ada
lagi verbal & physical abuse selama saya hadir jadi papanya. Juga berbagai
abuse dalam bentuk apapun. Saya sudah berjanji untuk itu. Ketika beberapa hari ini dia seolah kembali
berlindung di dalam ruang diam dan rumah
siputnya saya seolah-olah terlempar kembali ke titik 0. Apa yang salah? I have
no idea.
Mungkin memang
seharusnya usianya sudah cukup mengakomodasi semua kedewasaannya. Pada banyak
titik dia dewasa. Sangat dewasa. Mampu menghadapi banyak hal dengan ketegaran
yang kadang-kadang tak terbayangkan. Tapi pada titik-titik lain di mana
rapuhnya lebih dominan saya tak bisa serta-merta menyalahkan dia. Adanya dia
sekarang adalah juga bentukan dari masa lalu yang pernah dilaluinya dalam
kekerasan tak terhingga yang membayangkannya pun saya berasa miris. Dan
sesungguhnya saat ini atau kapanpun bukanlah hal yang penting untuk mencari
siapa yang paling bersalah. Semuanya terjadi karena alasan-alasan yang
terkadang out of mind.
Saya hanya berharap
saya masih cukup diberi kekuatan untuk menariknya kembali ke dunia penuh
warna-warni ini. Masih cukup diberi kesabaran untuk membimbingnya menemukan
pelangi. Masih cukup diberi ketegaran untuk membantunya bangkit saat dia jatuh, Masih cukup diberi waktu untuk menghapus sepenuhnya semua bekas coretan hitam dalam hidupnya. Masih cukup diberi kesempatan untuk memupuk harapan kelak melihatnya meraih kebahagiaannya sendiri bersama orang yang mampu menjaganya dan mencintainya apa adanya. Semoga.
__________
(Otw SH.20.03.2015.Chris D.a)
Pa Chris sabar ya. Ntik aq bantu :)
BalasHapussomplakers are always standing beside pu2t Sir so don't worry :)
BalasHapus