Jelang sore kemarin sepulang sekolah Thea nongol di kamar saya. Sebenarnya bukan hal yg aneh karena selama saya bedrest di rumah ia juga bolak-balik nengok ke kamar saya. Menawari minum, menanyakan apa saya perlu sesuatu, dsb. Tapi kali ini jadi ndak biasa karena ekspresinya antara iya & ndak. Antara mau ngomong & ndak. Bahkan cenderung agak ngeblank. Ia masih ngeles ketika saya desak. Belok ke sana-sini, tanya apa saya baik2 saja, masih sakit atau ndak, dsb. Sampai akhirnya ia bicara juga. Seperti judul di atas.
Perlu waktu beberapa detik bagi saya untuk ngeh soal "ditembak" itu. Sampai akhirnya terjadilah dialog yg garis besarnya sbb:
S (saya): ditembak sama siapa?
T (Thea): ada deh. Om kenal kok. Gimana? Boleh ndak?
S: iya siapa dulu?
T: ng.. (agak lama) Si X.
S: X anaknya pak Anu itu?
Thea mengangguk sambil nyengir & senyum2 ndak jelas.
S: kapan nembaknya?
T: kemarin Minggu pagi bubaran misa.
S: kamu juga suka sama dia?
T: iya.
S: kenapa?
T: suka saja. X baik. Pinter. Ndak gombal.
S: kamu sudah cerita ke papamu?
T: sudah.
S: papamu bilang apa?
T: suruh tanya om.
S: hee??
Sampai di sini saya bengong. Mikir lama barangkali saya amnesia. Lupa si Thea ini anak saya atau anak abang saya. Kok soal ia ditembak cowo malah disuruh saya yg memutuskan boleh atau ndaknya? Piye toh?
S: tante tahu?
T: iya. Tante juga bilang tanya om dulu. Papa sama tante bilang om ada pengalaman, makanya aku disuruh tanya dulu ke om.
Pengalaman?? Sampai di sini saya benar2 merasa dikerjain. Akhirnya saya katakan pada Nduk cantik ini bahwa saya akan berpikir dulu. Maksud saya mau kompromi dulu dgn papanya. Tapi pada kesempatan ngobrol berdua itu saya ceritakan juga tentang "pengalaman" saya itu.
Ternyata papanya malah ketawa waktu saya telepon. Ia bilang pada prinsipnya dia ndak apa2 asal model pacarannya kaya saya dulu. Biar si Nduk ada pengalaman. Kalau dilarang malah bisa backstreet. Malah ndak terdeteksi. Bisa bahaya. Mendingan terbuka. Bisa diawasi. Tapi kembali lagi semua terserah pada saya karena sehari-harinya Nduk ada bersama saya. Lagipula saya kenal siapa cowo ini.
Betul saya kenal dgnnya, kenal orangtuanya. Selama ini saya tahunya ya baik-baik saja. Cukup sopan. Sekolahnya genah. Cukup aktif di gereja. Sekolahnya bareng Domi. Beda kelas/angkatan. Si cowo ini sudah kelas 11. Menurut "penerawangan" Domi juga ndak ada masalah.
Setelah bicara juga dgn nyonya akhirnya malam harinya kami panggil Thea. Saya tanyakan pacaran seperti apa yg ia bayangkan. Jawabannya cukup membuat saya melongo.
Ia ingin punya teman dekat (lawan jenis) yg bisa membuatnya nyaman. Ia merasakan hal itu di dekat X ini. Selain itu ia ingin menambah semangat belajar karena "kalau aku ndak pinter kan malu sama X om". Soal cinta segala macam, ia ndak tahu. Baru sebatas suka. OK sampai di sini alasan itu bisa saya terima.
Lalu model pacarannya bagaimana? Karena jujur saya ngeri kalau sampai ia kebablasan. Ia bilang ndak mau over karena ia sendiri sebel kalau lihat orang yg pacarannya vulgar. Lagipula "kan ada Domi om". Loh kok melibatkan Domi? "Ya kan Domi kaya Ciprut" (ketika saya menuliskan catatan ini, saya dan nyonya sudah siap pasang badan kalau sampai si kembar ini berantem gegara ada yg disamakan dgn Ciprut. Ciprut ini herder piaraan Nduk Ayu). Sampai di sini saya ndak menemukan alasan untuk melarang walaupun rasa was2 tetap ada.
Usia Nduk Thea memang belum genap 16 tahun. Bila merunut ke belakang memang saya sedikit lebih muda lagi ketika mulai mengenal kata "pacaran". Itu pun hanya sekadar ngobrol secukupnya. Lebih pada membangun pemikiran bahwa saya punya "seseorang" di luar keluarga, saudara & teman yg bisa saya ajak bicara. Itu membuat saya merasa lebih secure & nyaman. Tampaknya ada pola yg sama dgn pemikiran Thea. Tapi masih harus saya pastikan lagi supaya saya ndak salah mengambil keputusan soal boleh ndaknya si Nduk ini "pacaran".
Memang ada beda sikap antara saya terhadap Thea & terhadap Nduk Ayu dulu saat seusianya. Secara tegas saya ndak membolehkan Nduk Ayu pacaran saat seusia Thea karena ia sendirian (ndak punya "Ciprut" kaya Domi #sorry Dom! Hehe..), dan masih agak susah dikendalikan. Ia sangat labil. Ada kemungkinan mudah "ditipu". Lain dgn Thea.
Tiap keluarga memang punya rule sendiri-sendiri. Sejujurnya saya cukup menyesal karena sudah terlalu ketat pada Nduk Ayu. Ndak ambil pola yg sama dgn orangtua saya dulu. Tapi ia memang harus dibentuk menurut ukurannya sendiri. Demikian pula Thea. Ndak bisa disamakan.
Lalu bagaimana dgn soal "ditembak" itu tadi? Keputusan saya adalah baru akan "mengijinkan" setelah nanti saya ajak bicara si cowo ini, untuk menjelaskan berderet-deret syarat yg harus dipenuhi (ndak boleh ngeluyur berdua, ndak boleh kebablasan, ndak boleh merugikan, ndak boleh mengganggu waktu belajar, nilai harus tetap baik, berlaku jam malam, dsb). Ia setuju. Buatnya sudah lebih dari cukup kalau X ini boleh datang ke rumah & ndak diusir atau dirondain mondar-mandir.
OK saya pikir cukup adil baginya & bagi kami para orang tua. Ada kepercayaan yg harus dipertahankan, ada kebebasan (yg tetap terbatas) yg bisa diberikan, ada banyak syarat yg harus dipenuhi. Selama ia bisa memegang komitmen itu & kami bisa memantaunya dgn cukup ketat saya berharap semuanya akan baik2 saja.
Sama sekali ndak mudah mendidik remaja jaman sekarang. Saya sendiri cukup bersyukur karena sebelum menyerahkan perwalian sementara pada saya untuk urusan pendidikan formal, abang saya sudah mendidik putra-putrinya dengan sangat baik. Prinsip2 dasar yang ditanamkan sudah sangat kuat sehingga nyonya & saya tinggal meneruskannya saja. Lagipula ia tetap memantau dgn cukup ketat dari jauh, dgn mewajibkan si kembar menelepon setiap menjelang tidur untuk memastikan bahwa semuanya baik2 saja. Selain itu juga setiap Jumat sepulang kerja langsung jalan ke sini untuk menengok si kembar & baru kembali ke rumah Minggu sore. Atau kalau ndak bisa karena akhir Minggu ada acara, si kembar yg saya kirim pulang ke rumah papanya.
Saya berharap apa yg saya lakukan ini ndak salah. Cukup lega rasanya baik Thea maupun Domi selama ini selalu mau terbuka pada tante & omnya ini. Bahkan ada hal2 yg terkadang ndak bisa mereka sampaikan pada papanya, mereka sampaikan pada saya atau tantenya.
Satu lagi yang membuat saya terharu. Thea mengatakan hal ini pada saya: "aku ndak mau bikin susah papa, om & tante. Aku mau jadi cewe baik-baik yg bisa dibanggain papa, om & tante". So sweet young lady!
Kids, doa om selalu untuk kalian..
__________
(JP.02.03.2017.Chris Darmoatmojo)
Pohon yang baik biasanya menghasilkan buah yang baik, walaupun nggak selalu. Salut untuk caranya 👍👍👍
BalasHapusGreat kids, I think 😊😊😊
Tp skrng sdh ndak ada terusannya haha.. Mbuh arek2 iku.
HapusSusah2 gampang mendidik anak zaman sekarang ya. Beda jauh dengan generasi papa-mama, om-tantenya dulu, ya teknologinya, ya budayanya. Tapi memang ada prinsip-prinsip dasar yang tetap harus dipenuhi. Pengalaman yang inspiratif
BalasHapusBetul bung Pical. Hrs pandai tarik-ulur mcm main layang2. Trm ksh sdh tengok ke sini.
Hapus