Dik Lis Suwasono atau Lizz, dan mba Dani Purwanto atau Arek Tembalangan.
Kali ini aku ingin menjadikan 2 sahabat ini sebagai
“korban” penulisan artikelku. Keduanya sudah setuju bahkan bersedia berbagi
sedikit cerita persahabatan mereka padaku.
Pertama kali yang kukenal adalah dik Lis Suwasono
atau Lizz. Ia menghidupkan lagi blog pribadinya: Fiksi Lizz, setelah
malang-melintang selama beberapa waktu lamanya di sebuah blog bersama.
Bagiku cerita-cerita fiksi yang ditulisnya selalu
memikat. Panjang ataupun pendek, ditulis secara serius ataupun asal-asalan
(istilah asal-asalan ini menurut pendapatnya sendiri), bagus semuanya buatku.
Aku memang hanya sekedar pembaca dan penikmat, bukan orang yang bisa menilai di
mana salah atau kurangnya. Hanya sekedar bisa merasa: “o ini cerita bagus”, atau:
“o ini agak membosankan”, atau juga: “o ini lama-lama kurang menarik”.
Cerita-cerita fiksi yang ditulis oleh Lizz hampir semuanya
bermain dengan rasa. Nda ada drama ala sinetron televisi yang lebay. Nda ada
perseteruan yang meledak. Kesannya manis tapi nda membosankan. Kenapa?
Menurutku karena permainan rasa yang bisa menyentuh pembacanya itulah. Selain
itu berasa mata dimanjakan dengan bacaan yang rapi formatnya, detail yang
teliti, dan minim sekali ada kesalahan ketik.
Di waktu senggang aku dan salah seorang temanku
sering ngerumpi lewat BBM. Kebetulan ia juga penikmat cerita-cerita fiksi Lizz.
Kami sama-sama terpikat dengan semua yang dipaparkan dalam cerita-cerita itu.
Ikut sedih, ikut sebel, ikut prihatin, ikut gemes, ikut gembira, ikut
senyum-senyum, penasaran dengan cerita berikutnya, semuanya itu hal yang bisa
kami alami ketika membaca cerita-cerita fiksi Lizz.
Kadang-kadang memang endingnya sudah bisa ditebak karena
bisa jadi sudah terbaca di awal atau tengah cerita. Tapi nda jadi males baca karena
justru menimbulkan penasaran: “kenapa bisa kaya gitu?” Atau: “bagaimana bisa
jadi kaya gitu?” Justru jalan menuju ending itu yang kadang-kadang mengagetkan
dan membawa ke “petualangan baru”.
Kemudian beberapa waktu belakangan ini muncul blog
baru bernama Arek Tembalangan Menulis. Pertama aku tahu karena dikasih info
suamiku. Katanya: “ini yang punya blog sahabatnya jeng Lis”. Oya? Memang aku
lihat blog ini langsung ada di list blog lain yang direkomendasikan dalam blog
Fiksi Lizz.
Kata suamiku lagi: “flash fictionnya bagus”. Wau!
Memang iya! Lugas dan tepat sasaran. Sama sekali lain modelnya dengan
cerita-cerita fiksi Lizz. Selanjutnya aku terpikat juga. Lagi-lagi aku dan
teman rumpiku dapat bahan ngerumpi baru. Katanya: “aku dapat rekomendasi dari
mba Lis sendiri”.
Selanjutnya tiba-tiba saja muncul cerbung berjudul
Pernikahan Samudra. Cerbung yang sungguh greget karena topiknya menurutku cukup
out of the box. Tapi apakah yang out of the box itu jadinya sesuatu yang 1000%
khayal di awang-awang? Ternyata sama sekali nda. Justru realistis sekali karena
bisa dialami oleh siapapun terutama para single parent. Sungguh-sungguh
membumi!
Dan endingnya - yang meskipun cukup unik -
sebetulnya sama sekali nda mengejutkan. Tapi proses menuju “memaafkan diri
sendiri” dan “berdamai dengan keadaan” itulah yang menurutku justru penting.
Membuat kepentingan anak nda jadi terabaikan.
Selanjutnya ada lagi cerbung Hantu Di Pertanian
Dunkirk di blog yang digawangi oleh mba Dani Purwanto ini. Aku sempat melihat
bahwa ada beberapa pembaca yang mengira mba Dani Purwanto itu adalah laki-laki
dari komentar pada blog itu. Barulah setelah ada DP bergambar seorang perempuan
cantik berjilbab maka nda diragukan lagi bahwa mba Dani Purwanto adalah seorang
perempuan dengan segala keunikannya, ibu dari seorang putra yang membanggakan,
mengabdi pada negara sebaik-baiknya.
Cerita Hantu Di Pertanian Dunkirk memang unik
seperti penulisnya. Genre cerita ini seolah membangkitkan lagi kenangan pada
hobi membaca serial Lima Sekawan, Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu, dan
sejenisnya di masa lalu. Petualangan anak-anak dan remaja yang mengajak pembaca
untuk ikut berpikir ala detektif. Sangat menarik!
Penulis yang 1 menghasilkan cerita manis dengan
kemampuan mengaduk rasa dan emosi, penulis
yang 1 nya lagi menghasilkan cerita dari genre yang berbeda. Lebih lugas dengan
tema yang unik. Dari komen berbalas komen di blog mereka terlihat bahwa
keduanya saling mendukung tanpa berkesan lebay.
Dua orang bersahabat yang memiliki hobi yang sama
yaitu membaca dan menulis, menurutku ini adalah hal yang sangat menarik. Lebih
menarik lagi bahwa keduanya sudah saling mengenal lebih dari 35 tahun (lebih
tepatnya sudah 37 tahun) sejak TK dan makin dekat menjadi sahabat ketika SMP.
Dik Lis Suwasono dan mba Dani Purwanto bersekolah di
tempat yang sama sejak TK, SD, dan SMP. Bahkan selama 6 tahun di SD bersama
dalam 1 kelas karena nda ada kelas paralel. Tapi keduanya saat itu hanya
berteman biasa, belum bersahabat. Persahabatan baru terbentuk ketika keduanya
duduk di SMP yang sama lagi. Di SMA keduanya berpisah, kemudian bertemu lagi di
universitas yang sama dengan fakultas berbeda, tapi lokasi gedungnya
bertetangga.
Menurut cerita dik Lis, mereka baru lebih dekat
ketika sekelas lagi di kelas 2 SMP. Terungkap juga cerita bahwa sebetulnya
mereka lebih ingin saling mendekatkan diri karena tergolong minoritas di
sekolah baru. Kaum minoritas? Apa maksudnya? Ternyata bukan apa-apa. Hanya saja
mereka berasal dari SD yang lain yayasan dengan SMP mereka. Jadi teman se-SD
yang masuk SMP itu hanya sedikit.
Lalu kenapa baru dekat ketika kelas 2 SMP? Karena di
situlah mereka menemukan bahwa mereka berjodoh sebagai sahabat. Menurut mba
Dani sahabat itu layaknya jodoh. Menerima "apa adanya", bukan "ada
apanya". Nda saling mendompleng kelebihan yang dimiliki sahabat.
Dan seterusnya keduanya bersahabat sampai sekarang.
Meskipun nda dekat secara fisik karena tinggal berlainan kota tapi teknologi
sudah mendekatkan mereka di belakang layar. Keduanya masih terus saling
berhubungan, berdiskusi, ngerumpi, dan saling curhat layaknya 2 sahabat.
Menurut mba Dani bersahabat itu senyatanya bukanlah
semu seperti bersama kemana-mana atau mendukung seperti babi buta. Kalau ada
hal yang "salah" tetap sang sahabat mengingatkan. Menurut dik Lis
bersahabat itu saling mendengarkan dan menyediakan diri untuk jadi tempat
sampah. Namun pada prakteknya ada yang unik dalam persahabatan mereka yaitu
lebih sering menyelesaikan urusan sendiri untuk kemudian "bertemu"
lagi dan saling berbagi cerita yang sudah “selesai”.
Bersahabat menurut keduanya juga layaknya harus
saling mempercayai dan bisa dipercaya, saling menghargai, nda ikut campur
urusan dalam negeri sahabat, saling jujur dan apa adanya, nda saling
memanfaatkan. Sebenarnya semua itu hal-hal yang standar. Hal yang membuatnya
jadi luar biasa adalah bahwa keduanya berusaha konsisten untuk menjalankannya
selama belasan bahkan puluhan tahun dalam masa persahabatan mereka.
Diakui keduanya hobi menulis lebih mendekatkan lagi.
Sering ada diskusi saat menulis suatu cerita untuk mendapatkan sudut pandang
lain. Jelas sekali nda saling merasa bersaing atau tersaingi, nda ada saling
terpengaruh dan mempengaruhi karena menyadari bahwa genre penulisannya sudah
beda. Yang ada adalah saling belajar.
Kedua orang bersahabat yang hanya berbeda usia
sebulan ini menemukan bahwa menulis membawa manfaat buat kehidupan mereka. Mba
Dani yang mulai suka menulis sejak SMP - karena terbawa hobi sahabatnya -
menyatakan bahwa menulis membuatnya bisa tetap waras :-) Sementara sahabatnya
yang mulai suka menulis sejak SD menyatakan bahwa menulis baginya adalah upaya
untuk mengisi waktu luang, melampiaskan hobi, dan menghindari pikun dini.
Apapun manfaat dan tujuan menulis bagi kedua sahabat
penghasil fiksi-fiksi memikat ini, keduanya sudah membuktikan bahwa
cerita-cerita yang mereka tulis sangat layak untuk muncul dimuat di majalah
Anita Cemerlang (majalah cerita remaja pernah top sepanjang tahun 90an),
majalah Bobo, mingguan Kompas Anak, dan majalah Femina. Bila kini keduanya
ngeblog itu dilakukan untuk melampiaskan keinginan menulis tanpa terbebani
apa-apa. Nda ngoyo meskipun tetap berusaha menampilkan hasil terbaik.
Bagi para perempuan sesibuk kedua sahabat ini
menghasilkan cerita-cerita memikat buatku sangatlah mengagumkan. Kapan
menulisnya? Itu sempat aku tanya juga pada mereka.
Dik Lis mengatakan bahwa banyak orang berpendapat
bahwa jadi ibu rumah tangga adalah karier 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Menurutnya nda selebay itu :-) Kalau seorang IRT - plus punya bisnis untuk
dikelola - bisa mengatur waktunya dengan baik maka nda mustahil masih tersisa
banyak waktu untuk "me time". Me time itulah yang digunakannya untuk
menulis.
Mba Dani lain lagi. Baginya menulis itu bisa menjadi
proses mengumpulkan dan menyusun puzzle karena ia menulis di mana saja dalam
potongan pendek-pendek. Semua terjadi karena kesibukannya sebagai seorang PNS
dan ibu (siapa bilang PNS nda sibuk?). Hasilnya sebuah cerita prosesnya bisa
makan waktu berhari-hari bahkan bertahun-tahun.
Memiliki dan menjadi sahabat yang benar-benar dapat
dimiliki dan dijadikan sahabat adalah hal yang langka saat ini. Sahabat yang
saling mendukung dan mengingatkan. Sahabat yang saling mendengar dan memahami.
Sahabat yang apa adanya dan nda pernah "punya kepentingan". Sahabat
yang nda pernah saling mempengaruhi. Sahabat yang tetap dekat saat jauh.
Sahabat yang nda pernah berpikir tentang beda kehidupan dan reliji. Sahabat
yang sama-sama memiliki kemampuan untuk menulis fiksi yang memikat.
Aku bersyukur sekali dapat mengenal keduanya dan
diperbolehkan menulis, dan berbagi tentang kisah ini :-)
(Tiwi's Corner.
2Feb2016)
speechless aku, mbak...
BalasHapusterima kasih sudah menggambarkan persahabatanku dengan lis dalam tulisan yg begitu bagusnya.
sek ah...
aku mau mojok dulu... terharuuuuuuu...
*ikutan mojok*
HapusSama sama mba :-) Memang di mataku panjenengan berdua ini adanya adanya seindah itu. Smg selalu langgeng persahabatannya :-)
HapusGBU
Jadi 'iri' jarang lho persahabatan yang awet begini. Selamat ya mbak Lis dan Mbak Dani, anda telah mendapat anugerah yg lebih berharga daripada emas permata :-)
BalasHapusSdh jadi barang langka persahabatan semacam ini bu. Makanya saya terima kasih sekali blh menulis sekaligus berbagi pengalaman indah ini :-)
HapusMaaf, Mbak Tiwi, ini sedikit tambahan dari aku :)
BalasHapusBahwa persahabatan sejak kelas 2 SMP itu nggak hanya kami berdua, tapi bertiga. Seorang lagi (namanya Yvonne) saat ini bermukim di Papua. Dan persahabatan kami bertiga masih berlangsung sampai sekarang.
Makasih banyak, Mbak Tiwi sudah berkenan menulis tentang kami. Monggo dilanjutkan dengan artikel-artikel lainnya. Selamat datang di dunia nge-blog!
*peluuuk*
Weh iya! Itu mau aku sisipkan tapi ragu2 karena artikelnya sudah kepanjangan. Maturnuwun tambahannya ya? Berkah Dalem :-)
HapusUwaaaa hureeee !!!!
BalasHapusAq katut dimasukno jadi cameo temen ngrumpi qiqiqiqiqiq
Bu Tiwi apik jugak e tulisane.
Aq seneng isa kenal ibu" hebat kayak bu Tiwi,mba Lis,bu Dani :))))
Weh iki durung dakbales toh? Cameo tsyantiiiik :-D
Hapusmereka menulis sejak kecil memang.... meskipun masih sebatas atau semacam berlatih. yang jelas kalau dani purwanto memang penggemar dan pembaca Lima Sekawan dll (all yang enyd blyton)ditambah penonton ikyu san, candy candy, voltus 5. yang jelas mereka berdua tumbuh sebagai wanita hebat yang konsisten....:)
BalasHapusIbu-ibu yang menarik ya mbak. Saya baru kenal sama mbak Lis. Maksudnya kenal ya dengan ketemu dan ngobrol-ngobrol serba terbatas, suka baca cerita-ceritanya. Kalau sama mbak Arek belum pernah ketemu, tapi juga selalu mengikuti tulisannya. Mbak Arek pernah nulis kisah persahabatannya sama mbak Lis di blog tetangga. Selalu terharu membaca persahabatan yang awet seperti ini. Dan tulisan mbak Tiwi apik. Salam.
BalasHapus