“Bi..
Tolong belikan kopi di warung Mak Inten! Sebentar lagi bapakmu pulang.”
Aku
menoleh pada Ibu yang sedang sibuk menyiangi kangkung. Sedetik kemudian kutatap
penggorengan panas di depanku, masih ada beberapa menjes kacang di dalamnya.
“Lah,
ini menjes-nya bagaimana?” gumamku.
“Sudah,
tinggalkan dulu,” Ibu beranjak dari duduknya.
Tak
ada hal lain yang bisa kulakukan kecuali menerima uang dari Ibu dan beranjak
pergi.
“Kopinya
setengah lusin saja.”
Masih
kudengar pesan dari Ibu sebelum pintu depan tertutup di belakang punggungku.
____
Aku
berpapasan dengan becak Bapak di pertengahan gang.
“Mau
ke mana, le?” Bapak menghentikan
sejenak becaknya.
“Warung
Mak Inten, Pak,” jawabku. “Disuruh Ibu beli kopi.”
“Wooh..”
Bapak
kemudian melanjutkan lagi kayuhannya pada pedal becak dan beberapa langkah ke
depan aku sudah sampai di warung Mak Inten. Segera kusebutkan apa yang harus
kubeli, dan Mak Inten melayaninya dengan cepat.
Ketika
aku berbalik masih sempat kudengar bisikan Bulik Narmi, salah seorang
tetanggaku, “Joko-nya si Jum itu lho,
sudah ganteng, pinter, nurut lagi sama orang tua. Coba anakku ada yang
perempuan, sudah ta’pesen jadi
mantu.” Dan Mak Inten terkikik menanggapinya.
Astaga...
Ibu-ibu ini...
Aku
mempercepat langkahku. Meninggalkan rumpian ibu-ibu di warung Mak Inten. Bapak
tentunya sudah sampai di rumah dan menunggu kopi kedua untuk hari ini.
____
Bapak
memang penyuka kopi. Pagi-pagi, sebelum mulai narik becak, Bapak selalu menyeruputnya secangkir dengan nikmatnya.
Bapak lebih suka kopi yang sudah dikemas bersama gulanya. Merknya harus Pesawat
Terbang, tak mau merk yang lain. Apalagi kopi eceran yang bisa dibeli per ons.
Kopi jitu. Siji-Pitu. Satu-Tujuh.
Kopi murah yang katanya campuran dengan perbandingan satu butir kopi dengan
tujuh butir jagung yang digiling bersama.
Menjelang
siang, Bapak ngopi lagi. Hal itu dilakukannya sebelum mengangkut semua bahan
rujak cingur yang akan diracik Ibu ke warung yang letaknya di seberang mulut
gang sebelah. Setelah itu Bapak akan narik becak lagi sampai sore.
Saat
pulang, sesudah mandi, Bapak akan ngopi lagi. Begitulah ritual yang berlangsung
setiap hari.
Kesibukan
Ibu menyiapkan bahan rujak cingur membuat Ibu tak sempat memasak lagi untuk
makan kami sehari-hari. Ibu hanya sempat memasak nasi saja. Jadilah warung Bu
Seto di mulut gang menjadi langganan kami sehari-hari untuk mendapatkan sayur
dan lauk siap dimakan.
Bapak
tak pernah protes. Sikap nrimo Bapak
membuatku belajar bersyukur atas apa yang kuperoleh sehari-harinya. Masih bisa
cukup makan, bisa bernaung di bawah atap sebuah rumah mungil yang terasa hangat
setiap harinya, masih bisa bersekolah di sekolah yang cukup bagus, walau untuk
itu aku tahu Bapak dan Ibu bekerja sekeras-kerasnya.
Bapak
hanya akan menggerundel sedikit kalau telat ngopi. Tapi tak pernah sampai
berlarut-larut karena Ibu selalu dengan sigap memenuhi kebutuhan Bapak untuk
ngopi.
____
Aku
heran ketika sampai di rumah. Bapak sudah duduk di depan meja besar di dapur
sambil memasukkan lontong ke dalam keranjang sambil ngopi.
“Lah,
itu masih ada kopi?” celetukku.
“Iya..,”
Ibu tertawa pendek. “Masih ada satu bungkus, nyelip di dekat toples gula.”
Aku
menutup kotak-kotak plasik berisi tempe, tahu, dan menjes goreng, kemudian menumpuknya di atas kotak tertutup berisi
cingur. Tampaknya semua sudah siap untuk diangkut ke warung.
“Beres-beres
ya, le?” ucap Ibu sebelum menyusul
langkah Bapak. “Setelah itu beli sayur dan lauk. Uangnya ambil dulu di warung.”
Aku
mengangguk.
Hari
Minggu begini memang sudah tugasku untuk membereskan segala kekacauan yang
ditinggalkan Ibu. Kubenahi semua kantong kresek bekas yang berisi semua sampah.
Ketika aku hendak mengikat kantong terakhir, mendadak aku tertarik pada
sesuatu.
Bekas
bungkus kopi Pesawat Terbang yang tergeletak di atas tumpukan buangan tangkai
kangkung entah kenapa membuat perhatianku tersedot. Ada tanda bahwa bungkus
kopi itu berhadiah.
Temukan hologram bertuliskan jenis
hadiahnya di dalam!
Sudah
sering Ibu atau aku menemukan hologram bertuliskan Anda belum beruntung dalam bungkus kopi Pesawat Terbang. Tapi
pernah juga beberapa kali menemukan hologram yang bertuliskan hadiah sebungkus
kopi atau uang Rp 500,00 bila bungkus itu ditukarkan di warung tempat membelinya.
Mak Inten bersedia menerima penukaran itu. Lumayanlah dapat kopi gratis atau
uang koin Rp 500,00.
Maka
kupungut dan kusisihkan bungkus kopi bekas itu. Dengan cepat kubereskan semua
sampah dan kumasukkan ke dalam tong sampah besar di depan rumah. Selesai
menyapu dan mengepel, aku pun ke warung rujak cingur Ibu untuk mengambil uang
pembeli sayur dan lauk matang.
____
Seperti
yang sudah-sudah, aku menikmati makan siangku sendirian. Sambil menyuapkan
sesendok makanan ke dalam mulut, kuraih bungkus kopi yang tadi kuselipkan di
antara teko dengan toples gula.
Dan
aku langsung tertegun.
Kukucek
mataku beberapa detik kemudian. Masih terbaca tulisan yang sama pada hologram
di dalam bungkus kopi itu.
Selamat! Anda memenangkan hadiah utama
berupa uang sebesar Rp 2.000.000.000,00. Segera hubungi nomor telepon berikut ini
: 0800-123456789 (layanan 24 jam bebas pulsa)
Aku
tersentak ketika telingaku menangkap bunyi denting nyaring sendok beradu dengan
piring. Aku menjatuhkan sendok yang kupegang tanpa sadar. Seketika tanganku
gemetar.
Dua
milyar? Benarkah?
Aku
benar-benar tak sabar menunggu hingga Ibu pulang dari warung dan Bapak pulang
dari narik becak.
____
“Halah!
Aku kok ndak percaya,” Bapak mengibaskan tangannya. “Jaman sekarang orang nipu
itu pinter, le. Ngomongnya dapat dua
milyar, tapi disuruh ini-itu, beli ini- itu lebih dulu. Kantong jebol, uang ndak
dapat.”
“Tapi
ini di dalam bungkusnya, Pak,” aku mencoba menyela.
“Ora percoyo!” Bapak tetap berkeras.
Kutatap
Ibu.
“Benar
apa kata Bapakmu, le,” alih-alih
mendukungku, Ibu malah mengamini ucapan Bapak. “Kita ini betul boleh jadi orang
susah, tapi jangan sampai jadi orang bodoh. Jangan mau ditipu. Sudah, buang
saja bungkus kopi itu.”
Aku
terdiam.
____
Pak
Diran membolak-balik bungkus kopi di tangannya. Aku menatapnya kosong. Otakku
sudah tak mampu berpikir apa-apa lagi.
Kemarin
aku tak menuruti kata-kata Ibu untuk membuang saja bungkus kopi itu. Diam-diam
aku menyimpannya sambil memikirkan bagaimana menelisik kebenaran tulisan dalam
hologram di dalamnya. Kami tak mempunyai pesawat telepon yang bisa digunakan
untuk memeriksa kebenaran hologram itu.
Hingga
semalam aku menemukan siapa yang mungkin bisa kumintai tolong. Pak Diran.
Kepala SMA tempatku menuntut ilmu. Hampir aku tak bisa memicingkan mata
menunggu pagi datang.
“Kelihatannya
asli, Bi,” ucap Pak Diran, hati-hati.
Jantungku
langsung berdebar kencang.
“Tapi
jangan senang dulu, kita cek dulu,” Pak Diran meraih gagang telepon di mejanya.
Beberapa
saat kemudian, ketika melihat betapa shock
wajah Pak Diran setelah melakukan sambungan telepon, aku tahu hidupku akan
berubah.
____
Menjelang
jam dua siang, penantianku berakhir. Beberapa orang dari kantor cabang
perusahaan kopi Pesawat Terbang di Surabaya langsung diutus untuk menemuiku di
sekolah oleh kantor pusat Jakarta.
Benar!
Aku memang memenangkan hadiah uang sebesar dua milyar rupiah itu. Bersih.
Bulat. Tanpa potongan pajak sama sekali karena semuanya sudah ditanggung
perusahaan kopi Pesawat Terbang.
Tak
ada waktu untuk terhenyak lagi. Aku hanya terdiam ketika semua guru bergantian
memelukku dengan wajah penuh haru. Tapi perayaan di ruangan Pak Diran harus
diakhiri juga dan dipindahkan ke rumah.
Pak
Diran dan Bu Virni, Wakasek bidang kesiswaan, memang mendampingiku pulang
bersama utusan dari kopi Pesawat Terbang. Bapak tak ada di pangkalan dekat
sekolahku ketika rombongan kami pulang. Aku pun menitip pesan pada beberapa
teman Bapak di situ, agar Bapak segera pulang. Pak Diran mampir ke warung rujak
Ibu, memberi pesan yang sama.
Bapak
dan Ibu hampir bersamaan tiba di rumah. Ketika utusan dari kopi Pesawat Terbang
menjelaskan semuanya, Bapak dan Ibu hanya bisa terdiam sambil menatapku.
Terlihat betul bahwa keduanya sangat kaget. Jauh lebih kaget daripada aku
ketika tadi mengetahui bahwa hadiah uang itu benar adanya.
Sejenak
kemudian kulihat tangan Bapak meraih bahu Ibu, kemudian melambaikan tangan
padaku. Kami berpelukan bertiga. Tenggelam dalam tangis dan tawa yang sudah
tertahan sekian lama dihimpit kesusahan hidup.
Lalu
Bapak melemas dalam pelukanku dan Ibu.
____
Perasaanku
benar. Tentang kehidupanku yang akan berubah.
Ibu
dan aku mendapat uang dua milyar rupiah untuk bekal melanjutkan hidup dan masa
depan. Tapi harus kehilangan Bapak yang mendapat serangan jantung karena
peristiwa itu.
__________
(A side story of this. Ditulis atas seijin penulis aslinya)
(JP.22.01.2016.Chris
D.a)
aku penasaran, sebenernya.
BalasHapusyu jum itu warungnya sebelah mana, seh??
kalo yu nah, aku tau banget, karena udah langganan turun-temurun.
ini si penulis asli harus mempertanggungjawabkan tulisannya.
dalam bentuk nraktir makan di tempat yu jum.
cabenya 2, gak pake lontong, ga pake bengkoang.
plus nasi sepiring.
oya, jangan lupa krupuk.
yang banyak.
demikian.
muhun menjadikan periksa.
:D :D :D :D :D
Seingat sy tempatnya ndak jauh dr yu Nah mba Dani. Yu Nah yg asli ya bkn anaknya :)
HapusTrm kasih sdh nengok kesini :)
sama aku juga penesaran pengen nyicipin aoma dan nikmatnya kopi hijau
HapusHaduuuh senang sekaligus sedih. Hm, jadi ingin rujak cingur.
BalasHapusTrm kasih atas kunjungannya mba Fabina. Sy br sj bc cerpen terbaru mba. Bgs! Backsound nya jg bgs. Sayangnya sy ndak bs komen di sana :(
HapusAq koq isa kliwatan blon baca ini.
BalasHapusTouching pa Chris.
Saknoe yo keilangan bapak masiyo dapet duik akeh :((